Ini Instrumen Pilihan yang Bisa Ditimbang Saat Volatilitas Global Tinggi

Scoot.co.id JAKARTA. Memasuki kuartal IV-2025, kondisi pasar global tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kestabilan. 

Chief Investment Officer (CIO) Bank DBS, Hou Wey Fook menilai, pasar kini berada dalam fase yang rentan, di mana euforia investor harus diimbangi dengan kehati-hatian terhadap risiko valuasi yang kian mahal dan konsentrasi berlebih pada saham-saham besar.

Ia mencatat sejak awal tahun, berbagai aset berisiko seperti saham teknologi, emas, hingga aset kripto mengalami lonjakan harga luar biasa seiring dimulainya pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed.

Menurut Fook, pasar kini bergerak di bawah bayang-bayang dua kekuatan besar: kebijakan suku bunga rendah yang memicu arus modal masuk ke aset berisiko, dan kekhawatiran fiskal Amerika Serikat yang semakin membesar. 

Ray Dalio Sarankan 15% Portofolio di Emas Saat Harga Tembus Rekor US$4.000

Pemerintahan Donald Trump, lewat program fiskal One Big Beautiful Bill, dinilai telah memperburuk defisit, mendorong imbal hasil treasury jangka panjang naik, sekaligus melemahkan dolar AS. 

“Utang pemerintah AS kini melebihi 120% dari PDB, jelas bahwa pemerintahan membutuhkan suku bunga yang lebih rendah untuk membiayai biaya pelunasan utang raksasanya,” kata Fook dalam DBS CIO Kuartal IV-2025, Senin (13/10/2025).

Kondisi seperti ini, lanjutnya, berisiko menciptakan fenomena fiscal dominance—situasi di mana kebutuhan fiskal mulai mengarahkan kebijakan bank sentral.

Meski tekanan makroekonomi meningkat, Fook melihat pasar masih mempertahankan optimisme, terutama karena dorongan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dinilai mampu mengubah struktur laba korporasi global. 

Namun demikian, Fook mengingatkan bahwa reli besar ini berdiri di atas fondasi yang rapuh. Ia menyebut ada tiga risiko utama yang membayangi pasar yakni, konsentrasi berlebih pada saham-saham raksasa teknologi yang kini menyumbang 38% kapitalisasi S&P 500; valuasi pasar yang sudah mendekati level ekstrem; dan perlambatan pertumbuhan laba di luar sektor teknologi akibat tekanan tarif serta margin yang menyempit. 

“Besarnya investasi mereka di bidang AI mungkin tidak memberikan hasil sesuai

ekspektasi, sehingga berpotensi menimbulkan koreksi pasar,” ujarnya.

Dalam pandangan DBS, peluang kenaikan masih terbuka berkat kombinasi pelonggaran moneter The Fed, kondisi ekonomi global yang relatif stabil, dan dorongan investasi modal terkait teknologi. Namun, strategi yang disarankan bukan lagi mengejar pertumbuhan semata, melainkan menyeimbangkan antara peluang dan perlindungan. 

“Strategi kami untuk investor adalah memanfaatkan rally ini sambil melindungi sisi bawah portofolio melalui diversifikasi,” kata Hou Wey Fook. 

Dari sisi aset, DBS menilai obligasi kini menawarkan prospek lebih menarik dibanding saham. Selisih imbal hasil antara laba korporasi dan obligasi pemerintah AS yang menipis membuat investor beralih ke aset pendapatan tetap yang dianggap lebih defensif. Obligasi korporasi dengan kualitas investasi (A/BBB) menjadi pilihan utama karena menawarkan imbal hasil yang menarik di tengah tekanan inflasi dan ketidakpastian fiskal.

Morgan Stanley: Maksimal 4% Kripto di Portofolio Opportunistic

Sementara di pasar saham, DBS masih mempertahankan pandangan positif terhadap sektor teknologi AS dan saham Asia di luar Jepang. Pelemahan dolar AS dan potensi pelonggaran moneter di kawasan menjadi katalis bagi bursa Asia. 

“Kami memperkuat keyakinan kami terhadap teknologi AS didukung oleh momentum kinerja yang kuat dan menaikkan alokasi saham AS kami menjadi netral,” ujar Fook.

Sebaliknya, DBS menurunkan pandangan terhadap saham Eropa dan Jepang menjadi netral hingga underweight karena potensi tekanan margin dari tarif dan penguatan mata uang masing-masing.

Selain itu, DBS juga mendorong peningkatan eksposur terhadap aset riil dan alternatif, seperti infrastruktur privat, emas, dan dana lindung nilai (hedge fund). 

Latar belakang pelonggaran fiskal dan moneter di AS dinilai dapat meningkatkan tekanan inflasi, menjadikan aset riil sebagai pelindung nilai yang efektif. “

DBS memperkirakan, harga emas dapat menembus US$ 4.450 per ons troi pada paruh pertama 2026, naik signifikan dari posisi saat ini yang telah menembus US$ 4.000 per ons troi.

DBS juga menekankan pentingnya aset alternatif seperti hedge fund dan saham swasta (private equity) untuk memperkuat stabilitas portofolio.

Analisis internal menunjukkan bahwa portofolio campuran yang melibatkan aset privat semi-likuid dan hedge fund mampu mengungguli portofolio tradisional dalam jangka panjang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *