Scoot.co.id , JAKARTA – Sejumlah emiten rokok terkemuka di Indonesia, seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP), PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), dan PT Indonesian Tobacco Tbk. (ITIC), mencatatkan kinerja keuangan yang kurang memuaskan pada semester I/2025. Hingga akhir tahun ini, tantangan utama yang masih membayangi industri adalah perlambatan daya beli masyarakat.
Kondisi ini semakin diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2025 yang menunjukkan deflasi sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang deflasi bulanan terbesar dengan penurunan 0,29%, mengindikasikan tekanan signifikan pada konsumsi.
Penjualan emiten-emiten raksasa pun turut terdampak. PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP) mengalami penurunan penjualan 4,57% secara tahunan (year on year/YoY) pada semester I/2025. Senada, pendapatan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) anjlok 11,30% YoY, diikuti oleh PT Indonesian Tobacco Tbk. (ITIC) yang menorehkan koreksi pendapatan 8,40% YoY pada periode yang sama.
Di tengah kelesuan tersebut, PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) justru menunjukkan performa yang berbeda. Perusahaan ini berhasil membukukan pertumbuhan penjualan sebesar 29,64% YoY pada periode Januari-Juni 2025, meskipun laju pertumbuhannya sedikit melambat dibandingkan semester I/2023 yang mencapai 46,34% YoY.
Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Utama, menyoroti deflasi bulanan Agustus 2025 sebagai sinyal nyata adanya tekanan konsumsi. Hal ini, menurutnya, selaras dengan laporan kinerja emiten rokok besar seperti HMSP dan GGRM yang mengalami penurunan penjualan. Namun, Ekky menemukan pengecualian menarik pada WIIM yang fokus pada segmen rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan II.
“Segmen ini lebih resilien di tengah tekanan ekonomi karena menyasar basis konsumen yang lebih luas dan sensitif terhadap harga,” ungkap Ekky kepada Bisnis, Selasa (2/9/2025). Ia menambahkan, strategi harga yang kompetitif serta ekspansi pasar ke luar negeri yang dilakukan WIIM menjadi kekuatan utama perseroan saat ini.
Menilik pergerakan saham di lantai bursa, pada perdagangan Selasa (2/9/2025), saham GGRM ditutup naik 2,11% ke Rp8.475, namun secara akumulatif merosot 36,16% sejak awal tahun. Saham ITIC naik 0,90% ke Rp224, tetapi masih terkoreksi 9,69% YTD. Sementara itu, HMSP stagnan di Rp525, dengan koreksi 17,32% YTD. Berbeda, saham WIIM ditutup menguat 1,26% ke Rp805, dan telah tumbuh 15% sejak awal tahun.
Ekky menjelaskan bahwa saat ini, saham-saham rokok cenderung lebih responsif terhadap faktor fundamental seperti realisasi penjualan, ekspektasi kebijakan cukai, dan indikator daya beli masyarakat. Selain itu, sentimen eksternal seperti arah kebijakan fiskal pemerintah, revisi tarif cukai, serta sinyal dari BPS atau Kementerian Keuangan juga berperan sebagai pendorong atau penekan psikologis pasar.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, rekomendasi Ekky untuk saham-saham rokok dalam jangka pendek masih bersifat wait and see. Namun, untuk prospek jangka panjang, WIIM masih menjadi pilihan utama. “Dengan segmen pasar yang tetap tumbuh dan dukungan ekspansi ekspor, saham WIIM cukup menarik untuk diakumulasi. Target harga jangka menengah hingga panjang diperkirakan di kisaran Rp1.200, dengan catatan kinerja penjualan dan efisiensi bisa terus dipertahankan,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat pasar modal Indonesia Reydi Octa memperkirakan kinerja emiten rokok besar seperti HMSP dan GGRM kemungkinan masih akan tertekan hingga akhir tahun. Faktor-faktor pemberatnya meliputi daya beli masyarakat dan antisipasi kenaikan cukai, yang berpotensi menyebabkan volume penjualan stagnan atau bahkan menurun.
Dalam situasi yang menantang ini, Reydi menilai pertumbuhan pendapatan WIIM di semester I/2025 disebabkan oleh fokus perusahaan dalam menyasar produk-produk low-tier yang harganya lebih terjangkau. Ia menjelaskan bahwa pergerakan saham-saham rokok di bursa sangat dipengaruhi oleh fundamental perusahaan seperti volume penjualan, perolehan laba, dan biaya produksi. Di luar itu, ada pula sentimen eksternal seperti regulasi yang terus berubah (terutama pembatasan iklan rokok), kebijakan cukai, isu kesehatan, tren gaya hidup sehat, dan arus dana asing. “Prospek jangka pendek sektor ini masih berada dalam tantangan yang besar,” tegasnya.
Gudang Garam Tbk. – TradingView
H.M. Sampoerna Tbk. – TradingView
Industri Rokok Masih Tertekan
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai prospek emiten rokok ke depan agak kurang cerah. Alasannya, data makro ekonomi, terutama inflasi dan daya beli, saat ini menunjukkan keberlanjutan pelemahan. Kondisi tersebut akan cenderung membuat konsumen mengurangi konsumsi atau mencari substitusi produk dengan harga yang lebih miring. Di sisi lain, kenaikan cukai membuat harga rokok konvensional melampaui harga wajar, sehingga disparitas antara daya beli masyarakat dan harga jual rokok konvensional terus melebar.
Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah pergeseran selera konsumen dari generasi muda, yang secara demografis merupakan mayoritas penduduk saat ini. Mereka lebih memilih jenis produk rokok yang tidak berasal dari merek besar emiten yang terdaftar di bursa. “Rokok elektrik atau vape berhasil menggerus pasar rokok konvensional beberapa tahun terakhir. Dan tak lupa, faktor rokok ilegal yang semakin hari semakin marak juga ikut menggerus pasar rokok konvensional yang menyasar konsumen kelas bawah,” ungkapnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Ronny menilai strategi yang dapat dilakukan emiten rokok adalah berinovasi melalui produk-produk baru yang lebih menarik untuk merebut kembali pasar yang hilang. Kedua, ruang sosialisasi produk rokok konvensional perlu diperluas secara kreatif melalui mekanisme transmisi pesan yang mampu menjangkau pasar yang lebih luas, terutama generasi muda. Ketiga, emiten harus bekerja sama secara aktif dengan pemerintah untuk menyosialisasikan bahaya rokok ilegal dan sejenisnya.
Di sisi lain, Ronny melihat adanya dilema yang dihadapi pemerintah dalam memandang industri rokok. Satu sisi, industri ini merupakan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki kewajiban moral untuk menyosialisasikan bahaya merokok kepada masyarakat. “Sehingga pemerintah cenderung membatasi pergerakan industri rokok dari sisi fiskal, di mana cukai yang dikenakan terus menerus naik dari waktu ke waktu,” tegasnya.
Dengan demikian, dukungan pemerintah yang dapat diberikan untuk industri ini adalah mempertimbangkan moratorium kenaikan cukai rokok dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini dirasa penting untuk menjaga agar disparitas antara daya beli masyarakat dan harga rokok tidak semakin melebar. Kedua, pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan pengetatan produk rokok bebas asap seperti yang dilakukan pemerintah Singapura, karena keamanannya belum terjamin. Ketiga, pemerintah harus serius menekan peredaran rokok ilegal. “Ketiga hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga maruah industri padat karya yang telah membuka begitu banyak lapangan kerja dan melibatkan begitu banyak mitra sepanjang lini bisnisnya,” pungkas Ronny.
Ihwal prospek pendapatan emiten, data konsensus dalam Bloomberg Terminal meramal pendapatan GGRM di akhir 2025 hanya mencapai Rp92,41 triliun, mencerminkan koreksi 6,33% YoY dibanding pendapatan 2024 sebesar Rp98,65 triliun. Bila dibedah, pendapatan dari segmen SKM diprediksi menyusut 4,03% YoY menjadi Rp83,13 triliun, sementara untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) diproyeksi susut 2,00% YoY menjadi Rp9,18 triliun.
Penurunan pendapatan tersebut sejalan dengan volume penjualan yang ditaksir bakal menyusut. Konsensus memprediksi volume penjualan GGRM di akhir 2025 mencapai 45,05 miliar batang, atau turun 15,22%. Rinciannya, volume penjualan SKT turun 11,75% YoY menjadi 7,19 miliar batang dan produk SKM susut 14,88% YoY menjadi 38,29 miliar batang.
Sementara itu, konsensus memproyeksikan pendapatan HMSP di akhir tahun ini tetap tumbuh tipis sebesar 0,48% YoY menjadi Rp118,44 triliun. Namun, proyeksi pertumbuhan ini melambat dibanding periode 2024 sebesar 1,64% YoY, periode 2023 sebesar 4,29% YoY, serta periode 2022 yang tumbuh 12,48% YoY. Dalam proyeksi pendapatan akhir 2025, produk sigaret kretek mesin (SKM) diperkirakan akan berkontribusi Rp66,75 triliun atau tumbuh 0,77% YoY. Produk sigaret kretek tangan (SKT) mencapai Rp39,92 triliun atau terkoreksi 0,75% YoY, sedangkan produk sigaret putih mesin (SPM) diprediksi meningkat 10,03% YoY menjadi Rp7,52 triliun.
Melansir rekomendasi konsensus di Bloomberg Terminal, sebanyak 6 dari 16 analis merekomendasikan ‘beli’ untuk HMSP, dengan target harga dalam 12 bulan ke depan di Rp645, mencerminkan potensi imbal hasil 22,9% dari harga terakhirnya Rp525. Berbeda jauh, tidak ada rekomendasi ‘beli’ sama sekali untuk GGRM; sebaliknya, 11 dari 15 analis merekomendasikan ‘jual’, dengan target harga Rp5.97,67, yang mencerminkan potensial kerugian 29,3% dari harga terakhir Rp8.450. Untuk WIIM, ketiga analis yang memberikan rekomendasi menyarankan ‘beli’. Rekomendasi ‘beli’ terbaru disematkan oleh CGS International Indonesia Sekuritas dengan target harga 12 bulan ke depan di Rp870, mencerminkan potensi imbal hasil 3,12% dari harga terakhirnya Rp800.
Ringkasan
Kinerja keuangan emiten rokok seperti HMSP dan GGRM mengalami penurunan penjualan pada semester I/2025 akibat perlambatan daya beli masyarakat. Deflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau memperkuat indikasi tekanan pada konsumsi. Namun, WIIM justru mencatatkan pertumbuhan penjualan, terutama karena fokus pada segmen rokok SKT golongan II yang lebih resilien terhadap tekanan ekonomi.
Analis merekomendasikan wait and see untuk saham rokok dalam jangka pendek, dengan WIIM sebagai pilihan utama jangka panjang karena ekspansi ekspor dan segmen pasar yang tumbuh. Prospek pendapatan GGRM dan HMSP diprediksi melambat, dengan konsensus yang bervariasi mengenai rekomendasi saham; sebagian besar analis merekomendasikan jual untuk GGRM, sementara HMSP masih memiliki beberapa rekomendasi beli.