
HOUSTON – Harga minyak dunia menunjukkan pelemahan signifikan pada perdagangan Selasa (4/11/2025) waktu setempat, dipicu oleh kombinasi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran yang membayangi potensi kelebihan pasokan global. Data manufaktur yang lesu semakin memperburuk prospek permintaan energi, menekan sentimen pasar secara keseluruhan.
Kontrak berjangka Brent mencatatkan penurunan sebesar 45 sen, atau 0,7%, dan ditutup pada level US$ 64,44 per barel. Sementara itu, patokan West Texas Intermediate (WTI) anjlok 49 sen, setara dengan 0,8%, berakhir di US$ 60,56 per barel.
Dennis Kissler, Senior Vice President of Trading BOK Financial, menjelaskan bahwa apresiasi dolar AS menjadi salah satu pemicu utama koreksi harga minyak, bersamaan dengan koreksi tajam yang terjadi di pasar saham Wall Street. “Nilai dolar yang tinggi secara inheren menekan harga komoditas yang berdenominasi dolar, sementara potensi dampak penutupan sebagian pemerintahan AS dapat mengurangi permintaan bahan bakar domestik,” ujar Kissler.
Dolar AS sendiri telah menguat ke posisi tertinggi dalam empat bulan terakhir terhadap euro. Ini terjadi di tengah perdebatan sengit di internal The Federal Reserve terkait peluang pemangkasan suku bunga lanjutan pada tahun ini. Penguatan mata uang AS ini secara otomatis membuat komoditas seperti minyak, yang diperdagangkan dalam dolar, menjadi lebih mahal bagi para pemegang mata uang lainnya, sehingga mengurangi daya beli dan permintaan.
Di samping itu, bursa saham AS turut mengalami koreksi lebih dalam menyusul peringatan dari sejumlah bank besar mengenai potensi aksi jual masif. Kondisi ini diperparah dengan penutupan pemerintahan AS yang telah memasuki hari ke-35, menyamai rekor terpanjang dalam sejarah. Dampak dari penutupan ini kian meluas, mulai dari penghentian bantuan pangan krusial hingga penundaan gaji bagi pegawai federal dan personel militer, yang berpotensi menghambat aktivitas ekonomi dan permintaan energi.
Dari kawasan Asia, sentimen negatif terhadap permintaan global semakin kuat setelah survei swasta menunjukkan aktivitas manufaktur Jepang pada Oktober menyusut paling tajam dalam 19 bulan terakhir. Angka ini menjadi indikator kuat melemahnya permintaan industri di wilayah tersebut, yang pada gilirannya dapat memengaruhi konsumsi energi secara signifikan.
Dalam upaya menyeimbangkan pasar, OPEC+, organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya, telah memutuskan untuk menunda rencana kenaikan produksi pada kuartal pertama 2026. Langkah ini diambil setelah sebelumnya hanya menyetujui peningkatan kecil untuk Desember 2025. Keputusan tersebut mencerminkan kewaspadaan kelompok produsen terhadap potensi kelebihan pasokan di pasar global yang dapat lebih jauh menekan harga. Meskipun demikian, survei Reuters mengindikasikan bahwa produksi minyak OPEC masih naik pada Oktober, meskipun laju peningkatannya melambat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Sementara itu, pengaruh sanksi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap perusahaan energi Rusia seperti Lukoil dan Rosneft mulai menunjukkan tanda-tanda peredaannya. Analis komoditas dari SEB Research, Bjarne Schieldrop, bahkan memperkirakan bahwa dampak dari sanksi lanjutan yang dijadwalkan berlaku pada 21 November mendatang kemungkinan juga akan terbatas, memberikan sedikit kelegaan pada sisi pasokan.
Fokus pelaku pasar kini beralih pada laporan terbaru dari American Petroleum Institute (API) terkait perubahan stok minyak mentah AS. Survei awal Reuters memproyeksikan persediaan minyak AS diperkirakan meningkat pada pekan lalu, sebuah indikasi yang dapat menambah tekanan lebih lanjut pada harga minyak dunia di sesi perdagangan selanjutnya.