
Scoot.co.id , JAKARTA — Harga tembaga melemah untuk hari kelima berturut-turut setelah mencapai rekor tertinggi pada akhir bulan lalu. Koreksi harga ini seiring dengan tekanan di pasar saham global yang mengurangi minat investor terhadap komoditas.
Berdasarkan data Bloomberg, harga tembaga 0,4% menjadi US$10.625 per ton pada pukul 10.07 waktu Shanghai. Harga ini sekitar 5% lebih rendah dari rekor tertingginya di US$11.200 dolar AS pada 29 Oktober 2025.
Sementara itu, harga logam industri lainnya turut melemah seperti aluminium turun 0,4%, seng turun 0,5%, dan kontrak berjangka bijih besi di Singapura merosot 0,4%.
Lima dari enam logam dasar di London Metal Exchange mencatat penurunan pada perdagangan awal sesi Asia hari ini dengan tren penurunan tembaga menjadi yang terpanjang sejak Juli.
Harga logam konduktor listrik ini mencapai titik tertingginya sepekan lalu karena optimisme bahwa kesepakatan dagang antara AS dan China akan mendorong permintaan, serta adanya gelombang gangguan pasokan.
Sentimen investor kini goyah di tengah ketidakpastian mengenai valuasi tinggi saham serta prospek yang semakin kabur terkait kemungkinan pemangkasan suku bunga lebih lanjut oleh Bank Sentral AS.
Melansir Reuters pada Rabu (5/11/2025), tiga indeks utama di sepanjang Wall Street yakni indeks Dow Jones Industrial Average terkoreksi 257,15 poin atau 0,54% menjadi 47.079,53. Indeks S&P 500 turun 66,08 poin atau 0,96% menjadi 6.785,89. Adapun Nasdaq Composite merosot 376,37 poin atau 1,58% ke posisi 23.458,35.
Tiga indeks utama Wall Street kompak bergerak di zona negatif setelah CEO Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengingatkan potensi gelembung pasar saham. Peringatan tersebut muncul setelah reli panjang S&P 500 yang mencatat rekor tertinggi berturut-turut, terutama terdorong euforia pada teknologi kecerdasan buatan (AI).
Saham teknologi menjadi kontributor utama penurunan di Nasdaq. Enam dari tujuh saham unggulan berbasis AI dalam kelompok “Magnificent Seven” ditutup melemah.
Sebelumnya, CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon turut mengingatkan potensi koreksi pasar signifikan dalam enam bulan hingga dua tahun ke depan seiring meningkatnya ketegangan geopolitik.
Thomas Martin, Senior Portfolio Manager di Globalt menilai koreksi pasar merupakan fenomena wajar. “Jika dalam 12 hingga 24 bulan ke depan pasar mengalami koreksi 10%–20%, itu adalah hal yang wajar,” ujarnya.
Selain itu, ketidakpastian juga meningkat seiring penutupan sebagian pemerintahan AS akibat kebuntuan anggaran di Kongres yang mendekati rekor durasi terpanjang. Minimnya data ekonomi resmi membuat pelaku pasar mengandalkan data swasta, termasuk indeks ketenagakerjaan ADP yang dijadwalkan rilis Rabu waktu setempat.
Pernyataan pejabat Federal Reserve turut menjadi perhatian untuk mencari petunjuk arah kebijakan moneter bank sentral di tengah terbatasnya indikator ekonomi utama.