Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menegaskan bahwa sektor manufaktur nasional saat ini sangat membutuhkan peningkatan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (RnD). Menurutnya, inovasi krusial diperlukan di empat sektor industri pengolahan utama: transportasi, agro, dan elektronik, guna mendongkrak daya saing industri Indonesia di kancah global.
Faisol menyoroti PT Industri Kereta Api (INKA) sebagai contoh nyata. Meskipun PT INKA saat ini menerima pesanan yang signifikan, termasuk 450 gerbong dari Selandia Baru, namun masih sangat bergantung pada impor untuk dua komponen utamanya: roda dan sistem rem. Mirisnya, lima roda kereta buatan lokal yang telah diuji oleh INKA selalu mengalami keretakan. “Pertanyaannya, ke mana hasil RnD domestik untuk menemukan campuran logam yang tepat bagi pembuatan roda kereta sehingga INKA masih harus mengimpor roda?” tanya Faisol, menggarisbawahi kegagalan inovasi lokal.
Kondisi serupa juga terlihat di sektor elektronik. Faisol mengungkapkan bahwa produsen cip lokal, yang mampu menghasilkan cip berkualitas tinggi berukuran hanya 4 nano (jauh lebih kecil dari rata-rata cip asal Cina yang 17 nano), mayoritas mengekspor produknya. Fenomena ini terjadi akibat minimnya pengembangan ekosistem atau pohon industri elektronik di dalam negeri. “Masalahnya, ekosistem industri elektronik domestik belum bisa memanfaatkan cip ini secara optimal,” jelasnya, menandakan adanya ketimpangan antara kapasitas produksi dan pemanfaatan internal.
Lebih lanjut, Faisol menyoroti dua kasus inovasi industri positif dari negara lain di sektor agro sebagai perbandingan. Industri garam di Cina, misalnya, berhasil menciptakan suplemen ternak yang terbukti dapat meningkatkan produktivitas susu hingga 30%. Sementara itu, industri kelapa sawit di Malaysia sukses mengembangkan produk substitusi susu segar melalui pengolahan bungkil tandan buah segar, menunjukkan potensi besar RnD di sektor agro.
Melihat berbagai fakta ini, Faisol menyimpulkan bahwa sektor manufaktur di dalam negeri masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu, ia secara tegas mendorong semua pelaku industri pengolahan untuk terus-menerus melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di fasilitas produksi masing-masing. “Penting bagi setiap perusahaan manufaktur untuk sadar dan terus menerus melakukan kegiatan RnD,” tegasnya.
Untuk mendukung dorongan ini, pemerintah telah menyediakan insentif yang sangat menarik berupa super tax deduction. Ketentuan fasilitas ini, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 128 Tahun 2019, secara singkat memungkinkan perusahaan untuk mengurangi Pajak Penghasilan hingga 200% atas biaya RnD yang dikeluarkan.
Data dari R&D World semakin memperjelas posisi Indonesia. Dari 40 negara yang disurvei, Indonesia menempati peringkat ke-34 dengan anggaran RnD sebesar US$8,2 miliar pada tahun 2022. Laporan tersebut secara spesifik menyebut bahwa Indonesia merupakan negara dengan rasio penganggaran riset terhadap PDB paling rendah, hanya sebesar 0,24% pada tahun yang sama. Sebagai perbandingan, rasio pengembangan riset terhadap PDB di antara 40 negara pembelanjaan riset teratas bervariasi, dengan Israel menduduki posisi tertinggi di angka 4,8%. Angka ini menjadi bukti konkret betapa krusialnya peningkatan investasi dalam pengembangan riset demi kemajuan industri dan ekonomi Indonesia.