Investor asing mulai terlihat memasuki saham-saham perbankan, khususnya pada emiten big banks di Indonesia. Kendati demikian, tekanan jual masih membayangi, sehingga investor disarankan untuk tidak terburu-buru dalam mengambil posisi di sektor ini.
Pada perdagangan Selasa (19/8), saham-saham big banks serentak mencatatkan koreksi pasca libur panjang Kemerdekaan RI. Menariknya, dua emiten perbankan bermodal jumbo tersebut tetap membukukan net foreign buy pada periode yang sama. Sebagai contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) terkoreksi paling dalam, ditutup anjlok 2,30% menjadi Rp8.500 per saham, setelah sempat menyentuh level terendah Rp8.450. Di tengah koreksi ini, bank swasta terbesar di Tanah Air tersebut justru membukukan pembelian bersih oleh asing senilai Rp91,27 miliar. Dalam sepekan terakhir, akumulasi pembelian bersih investor asing pada BBCA bahkan mencapai Rp1,35 triliun.
Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan penurunan terbesar kedua di antara big banks lainnya. Saham bank yang identik dengan segmen mikro dan UMKM ini ditutup melemah 1,94% ke level Rp4.040 per saham. Senada dengan BBCA, saham BBRI juga membukukan net foreign buy di awal pekan ini senilai Rp144,07 miliar, melanjutkan catatan pembelian bersih oleh asing yang selama sepekan terakhir mencapai Rp2,31 triliun.
Meskipun demikian, Maximilianus Nicodemus, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, mengemukakan pandangan bahwa tahun ini bukan merupakan periode yang optimal bagi sektor perbankan. Ia memprediksi bahwa saham perbankan, khususnya, belum akan sepenuhnya pulih ke performa puncaknya. Nico secara spesifik menyoroti keraguan investor terkait kebijakan pemerintah yang memengaruhi sektor keuangan, terutama pada bank-bank milik negara. Menurutnya, meskipun narasi yang disampaikan pemerintah sudah positif, hal tersebut belum mampu mengubah perspektif investor terhadap saham perbankan.
Ia lantas mengaitkan pergerakan saham perbankan pada perdagangan awal pekan ini dengan pidato Presiden Prabowo Subianto mengenai RAPBN yang disampaikan pada akhir pekan lalu. Dalam pidatonya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 mencapai 5,4% melalui berbagai kebijakan yang akan diterapkan. “Namun, itu masih berupa narasi. Koreksi yang terjadi hari ini menunjukkan investor masih mencermati dan mengevaluasi dampaknya,” jelas Nico. Selain itu, ia juga menyoroti sentimen negatif spesifik yang dihadapi beberapa emiten, seperti BBCA yang sempat diterpa isu pengambilalihan 51% saham oleh pemerintah terkait kasus utang BLBI. Nico berpendapat bahwa jika isu-isu semacam ini tidak ditanggapi serius, hal itu dapat memicu narasi spekulatif yang mengganggu kepercayaan investor. “Saya berharap isu-isu seperti itu sebaiknya tidak muncul,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Nico menyarankan agar investor dengan profil investasi jangka pendek untuk sementara waktu menghindari saham-saham perbankan. Namun, bagi investor berorientasi jangka panjang, ia merekomendasikan BBCA dengan target harga Rp11.650 per saham.
Di sisi lain, Miftahul Khaer, Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, berpandangan bahwa investor asing saat ini masih memiliki potensi untuk keluar masuk secara dinamis pada saham-saham perbankan, bergantung pada sentimen global. Ia menjelaskan bahwa investor asing cenderung memanfaatkan tingginya likuiditas pada saham bank. Meskipun demikian, fenomena ini tidak serta-merta mengindikasikan penurunan kepercayaan investor asing terhadap fundamental big banks yang solid. Menurutnya, pergerakan ini lebih banyak dipicu oleh tingginya tingkat ketidakpastian di pasar global.
Mengenai sentimen domestik, Miftahul melihat pidato Presiden Prabowo pada Hari Kemerdekaan serta nota keuangan memang menjadi perhatian utama, khususnya terkait arah kebijakan fiskal, subsidi, dan dorongan untuk kredit produktif. Namun, dampaknya dinilai lebih bersifat jangka menengah. Miftahul juga menambahkan bahwa saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) mungkin masih menjadi opsi menarik dengan target akumulasi mencapai Rp3.200.
Berbeda pandangan, Andrey Wijaya, Head of Research RHB Sekuritas Indonesia, menjelaskan bahwa kenaikan saham-saham bank pada pekan lalu disebabkan oleh adanya rebalancing pada indeks MSCI, di mana big banks turut masuk dalam indeks tersebut. Untuk koreksi yang terjadi pasca libur panjang ini, ia menilai penurunan harga saham bank lebih banyak diakibatkan oleh aksi technical profit taking. Menurut Andrey, pidato Presiden Prabowo pada akhir pekan lalu tidak banyak berdampak signifikan karena ekspektasi pasar sudah terpenuhi. “Saya melihat penurunan harga saham bank lebih karena technical take profit setelah reli signifikan pada pekan sebelumnya,” pungkasnya.
Ringkasan
Investor asing mulai memasuki saham perbankan, khususnya big banks, namun tekanan jual masih ada. Pada perdagangan setelah libur panjang, saham-saham bank besar seperti BBCA dan BBRI terkoreksi meski mencatatkan net foreign buy yang signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ini adalah peluang atau justru jebakan bagi investor.
Para analis memiliki pandangan berbeda terkait hal ini. Beberapa berpendapat bahwa sektor perbankan belum sepenuhnya pulih dan investor masih mencermati kebijakan pemerintah. Sementara yang lain melihat pergerakan saham bank lebih disebabkan oleh faktor teknikal seperti rebalancing indeks MSCI dan aksi profit taking. Investor disarankan untuk berhati-hati dan mempertimbangkan profil investasi mereka sebelum mengambil posisi.