Scoot.co.id, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini melayangkan kritik keras terhadap kebijakan fiskal yang diterapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI). Menurut Purbaya, langkah-langkah yang diambil oleh kedua institusi ini secara signifikan turut memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Purbaya menjelaskan bahwa perlambatan ini berakar pada jumlah dana pemerintah yang amat besar, yang berasal dari penerimaan negara, namun justru diendapkan di bank sentral. Ia mengungkapkan bahwa nilai dana tersebut pernah mencapai angka fantastis Rp800 triliun. Kondisi minimnya uang beredar di sistem perekonomian dalam beberapa waktu terakhir, menurutnya, menjadikan otoritas fiskal dan moneter “berdosa” karena secara tidak langsung memicu kecilnya capaian pertumbuhan ekonomi, terutama selama masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo.
Dalam pidatonya yang disampaikannya pada acara Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025), Purbaya menegaskan, “Karena suplai uang di sistemnya berbeda rezimnya. Dosanya bukan pemerintah saja, bank sentral juga ikut.” Ia secara spesifik menyoroti kebijakan BI yang menerbitkan instrumen utang seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Menurutnya, penerbitan SRBI ini justru mendorong perbankan untuk menempatkan dana mereka pada instrumen tersebut, alih-alih menyalurkannya sebagai kredit kepada sektor riil. “Kedua otoritas ini telah mengeringkan sistem finansial, baik BI maupun [Kementerian] Keuangan. Akibatnya ekonomi melambat dan kita mengalami kesulitan,” jelas Purbaya, menyimpulkan bahwa hal ini berdampak langsung pada minimnya pertumbuhan ekonomi.
Melihat dari aspek kebijakan fiskal, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga pernah menjabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) ini mengemukakan bahwa kelambatan belanja pemerintah menjadi penyebab lain mengapa uang beredar di sistem perekonomian begitu minim. Dana yang berhasil dihimpun, baik melalui utang maupun pemungutan pajak, justru “terparkir” di BI. “Pemerintah mengeluarkan utang, menarik pajak, lalu uangnya ditaruh di mana? Di BI. Mereka mengira itu aman. Bagus. Namun, yang mereka lupakan adalah adanya sebuah sistem. Uang ditarik ke sini, di sana menjadi kering,” ungkap Purbaya, menekankan dampak domino dari penumpukan dana tersebut.
Lebih lanjut, Purbaya memaparkan bahwa jumlah dana pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia maupun di perbankan umum menunjukkan fluktuasi yang signifikan. Ia kembali menegaskan bahwa nilainya pernah menyentuh puncaknya hingga Rp800 triliun di bank sentral. “Uang pemerintah di Bank Sentral berfluktuasi besar, kadang mencapai hampir Rp800 triliun, tanpa disadari karena kurangnya pemantauan,” ujarnya. Sebagai gambaran, per Juni 2025, dana pemerintah yang tersimpan di BI mencapai sekitar Rp488 triliun dan Rp394 triliun di bank umum. Saat ini, angka di bank sentral sekitar Rp425 triliun. Pada Desember 2024, tercatat dana pemerintah sebesar Rp495 triliun dan Rp319 triliun di bank umum. Purbaya lantas menyoroti biaya dari dana yang menganggur ini: “Kas ini bukan kas gratis; ini diperoleh dari utang. Jika bunga pinjaman 7%, maka Rp56 triliun bunga harus kita bayar untuk uang yang tidak terpakai. Ini adalah pemborosan yang besar, menambahkan pada ‘dosa’ kita karena mengeringkan sistem finansial.”
Kritik tajam Purbaya ini tidak terlepas dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (year-on-year) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini memang menunjukkan peningkatan tipis dari kuartal I/2025 yang hanya mencapai 4,87% (year-on-year), namun masih jauh dari potensi ideal yang diharapkan.
Menyikapi kondisi tersebut, Purbaya mengambil langkah konkret dengan memutuskan untuk menarik sebagian dana pemerintah yang diendapkan di Bank Indonesia, senilai Rp200 triliun. Dana tersebut akan segera disalurkan ke enam bank himpunan bank milik negara (Himbara), yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, BSI, dan BSN. Penyaluran dana ini diharapkan dapat segera efektif pada Jumat (12/9/2025), dengan tujuan utama agar bank-bank tersebut dapat segera menyalurkannya sebagai kredit untuk memacu aktivitas di sektor riil, mendorong perputaran uang, dan pada akhirnya, mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Ringkasan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengkritik kebijakan fiskal Kemenkeu dan moneter BI yang dinilai memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ia menuding penumpukan dana pemerintah yang signifikan di BI, pernah mencapai Rp800 triliun, serta penerbitan SRBI yang mengurangi kredit ke sektor riil, sebagai penyebab utama perlambatan ini. Kelambatan belanja pemerintah juga disebut turut berkontribusi pada minimnya uang beredar.
Purbaya menyebut kebijakan tersebut sebagai “berdosa” karena mengakibatkan pemborosan akibat bunga pinjaman atas dana menganggur dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebagai solusi, ia telah menarik Rp200 triliun dana pemerintah dari BI untuk disalurkan ke enam bank Himbara agar dapat segera dikreditkan ke sektor riil dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang hanya mencapai 5,12% menjadi latar belakang kritik tersebut.