Skema Impor BBM B to B Disebut Bisa Perkuat Bargaining Power

Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memfasilitasi skema business to business (B to B) antara PT Pertamina (Persero) dan badan usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta menjadi langkah strategis vital dalam menjaga stabilitas pasokan energi nasional. Mekanisme ini dinilai mampu memperkuat fondasi ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) di tengah dinamika pasar global.

Prof. Andy N. Sommeng, Guru Besar Tetap Fakultas Teknik Universitas Indonesia, menegaskan bahwa impor melalui Pertamina dalam skema B to B bukan sekadar solusi teknis, melainkan strategi besar untuk meningkatkan posisi Indonesia di pasar internasional. “Dengan volume pembelian yang besar, bargaining power kita di pasar global menjadi lebih kuat, logistik menjadi lebih efisien, dan yang terpenting, stok nasional lebih aman,” jelasnya.

Implementasi kebijakan impor BBM ini dipertegas melalui kesepakatan empat poin penting yang dihasilkan dari rapat antara pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta seperti Shell, BP, serta Vivo pada 19 September 2025. Kesepakatan tersebut mencakup kewajiban pembelian base fuel SPBU swasta dari Pertamina, keterlibatan surveyor independen untuk menjamin kualitas pasokan, penerapan mekanisme harga terbuka (open book) untuk keadilan semua pihak, serta jaminan pasokan dapat masuk dalam waktu tujuh hari.

Sebelumnya, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyampaikan optimisme mengenai ketersediaan energi. Menurutnya, kuota impor untuk SPBU swasta tahun ini justru meningkat 10 persen dari 2024, mencapai 110 persen dari realisasi tahun lalu. “Jika masih kurang, kolaborasi dengan Pertamina selalu menjadi opsi. Energi ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujar Bahlil di Jakarta. Dia juga meyakinkan bahwa cadangan BBM nasional cukup untuk 18 hingga 21 hari, menepis keraguan publik akan ketersediaan pasokan.

Prof. Andy N. Sommeng lebih lanjut menekankan bahwa peran Pertamina melampaui sekadar importir tunggal. Pertamina bertindak sebagai penyangga krusial antara volatilitas harga minyak global yang fluktuatif dengan kebutuhan domestik yang stabil. “Jika dilepas sepenuhnya ke pasar bebas, harga BBM akan dikendalikan pasar, dan dampaknya akan sangat dirasakan publik, terutama masyarakat kecil. Oleh karena itu, kehadiran negara adalah sebuah keharusan,” tegasnya.

Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa pangsa pasar SPBU swasta saat ini mencapai 15% dari total distribusi nasional. Dengan porsi yang signifikan ini, keterlibatan pihak swasta memang penting, namun harus tetap berada dalam kerangka regulasi yang kuat agar peran Pertamina sebagai representasi negara dalam mengamankan energi tidak terganggu.

Meskipun memberikan manfaat jangka pendek yang jelas, Andy mengingatkan bahwa kebijakan impor melalui Pertamina tidak boleh dianggap sebagai solusi permanen. Pemerintah wajib mempercepat pembangunan kilang dan diversifikasi energi untuk mencapai kemandirian yang seutuhnya. “Kebijakan ini adalah jembatan menuju kemandirian energi yang lebih kokoh. Transparansi kompensasi ke Pertamina dan percepatan proyek kilang akan menjadi penentu keberhasilan jangka panjang,” katanya.

Dengan langkah-langkah strategis ini, publik diharapkan semakin yakin bahwa pasokan BBM nasional akan tetap stabil, harga terkendali, dan tata kelola energi berjalan sesuai dengan amanat konstitusi, demi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *