Scoot.co.id JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan akan menghadapi koreksi pada November 2025, setelah performa yang bervariasi di bulan sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan Jumat (31/10/2025), IHSG ditutup melemah 0,25% ke level 8.163. Koreksi ini memperpanjang tren mingguan, di mana IHSG terkoreksi 1,3%. Meskipun demikian, dalam sebulan terakhir, IHSG masih mencatatkan kenaikan tipis 0,56% dan melonjak signifikan 15,31% secara year to date (YTD) sejak awal tahun.
Aktivitas investor asing menunjukkan dinamika menarik. Pada Jumat (31/10/2025), tercatat arus masuk dana asing sebesar Rp 856,68 miliar di pasar reguler dan Rp 1,13 triliun di seluruh pasar. Angka bulanan juga positif, dengan dana asing masuk Rp 2,48 triliun di pasar reguler dan Rp 5,55 triliun di seluruh pasar selama Oktober. Namun, gambaran jangka panjang sejak awal tahun 2025 menunjukkan arus keluar dana asing yang substansial, mencapai Rp 49,19 triliun di pasar reguler dan Rp 43,19 triliun di seluruh pasar.
Menilik kilas balik ke November 2024, IHSG kala itu berada di level 7.114,2, mengalami koreksi tajam -6,07% secara bulanan (MoM) dibandingkan Oktober 2024. Penurunan ini juga diikuti oleh merosotnya rata-rata nilai transaksi perdagangan sebesar 8,93% MoM menjadi Rp 11,71 triliun, dari sebelumnya Rp 12,86 triliun pada Oktober 2024.
Meskipun demikian, prospek IHSG di November 2025 menyajikan gambaran yang kompleks dengan beragam pandangan dari para analis pasar.
Menurut Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, peluang koreksi IHSG di bulan November 2025 masih terbuka. Namun, ia juga menyoroti adanya potensi window dressing menjelang akhir tahun. Kondisi makroekonomi domestik yang stabil, seperti suku bunga Bank Indonesia (BI) yang akomodatif, inflasi rendah, dan peningkatan belanja pemerintah, menjadi pendorong utama potensi window dressing ini. Sayangnya, efek positifnya diperkirakan tidak akan sekuat tahun-tahun sebelumnya karena volatilitas pasar yang tinggi sepanjang 2025 dan masih besarnya posisi net sell oleh investor asing.
Harry menambahkan, risiko utama yang membayangi pergerakan IHSG di November adalah tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta potensi perlambatan ekonomi global yang dapat menekan selera risiko investor. Di dalam negeri, isu fiskal dan aksi ambil untung menjelang akhir tahun juga berpotensi menahan optimisme pasar.
Di sisi lain, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, justru melihat adanya potensi IHSG untuk kembali mencatatkan kinerja positif di bulan November, mirip dengan capaian September dan Oktober lalu. Ia menyoroti modal asing masuk yang cukup baik, terutama ke saham-saham fundamental kuat dan blue chip seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Rully juga menggarisbawahi faktor suku bunga yang telah turun signifikan sebagai pendorong utama, serta tetap terbukanya peluang window dressing di akhir tahun 2025.
Sementara itu, VP Equity Retail Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menawarkan perspektif berdasarkan data historikal. Dari sembilan tahun terakhir, peluang penguatan IHSG di bulan November hanya terjadi tiga kali (2018, 2020, dan 2023), dengan pola yang serupa: koreksi di Oktober diikuti penguatan di November. Audi mengidentifikasi empat sentimen utama yang akan memengaruhi kinerja IHSG bulan ini. Pertama, aksi profit taking setelah kenaikan 1,28% dan pencapaian all time high (ATH) baru di Oktober 2025. Kedua, periode wait and see menjelang window dressing, serta rebalancing portofolio atau tax loss harvesting oleh sejumlah manajer investasi global. Ketiga, kinerja kuartal III 2025 yang sudah priced-in, dengan beberapa sektor menunjukkan performa konservatif. Terakhir, distribusi dividen interim dari beberapa emiten.
Namun, Audi optimistis koreksi IHSG tidak akan sedalam November 2024 yang mencapai -6,07%. Alasannya, suku bunga The Fed pada November 2025 sudah dipangkas hingga 4% dan masih ada potensi pemangkasan 25 basis poin (bps) hingga Desember 2025. Sentimen ini diharapkan akan menopang pergerakan IHSG dan mendorong capital inflow di bulan November, sebagaimana telah terlihat pada inflow asing di seluruh perdagangan Oktober 2025.
Senada, Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, mengakui bahwa secara historis selama 10 tahun terakhir, IHSG kerap menunjukkan performa kurang memuaskan setiap November. Potensi koreksi bulan ini juga disebabkan oleh faktor profit taking. Oleh karena itu, investor perlu cermat memantau data-data ekonomi Indonesia dan global, serta laporan keuangan kuartal III 2025.
Praska menambahkan, IHSG akan terdorong jika ada ruang penurunan suku bunga bank sentral dan pemulihan daya beli masyarakat. Sebaliknya, pergerakan IHSG bisa tertahan apabila Produk Domestik Bruto (PDB) menurun, daya beli belum pulih, dana asing masih keluar dari pasar saham, serta sektor komoditas logam dan mineral bergerak volatil. Ia juga memperkirakan window dressing di Desember akan tetap ada, namun kinerja IHSG tidak akan signifikan karena The Fed diperkirakan tidak akan memangkas suku bunga lagi.
Dengan berbagai proyeksi ini, sejumlah analis telah merumuskan sektor dan rekomendasi saham menarik untuk dicermati sepanjang November 2025.
Harry Su merekomendasikan sektor perbankan besar seperti BBCA, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan BMRI. Selain itu, ia juga melirik sektor telekomunikasi, energi, consumer staples, serta emiten komoditas emas yang menunjukkan peningkatan pendapatan kuat dan likuiditas tinggi. Rekomendasi beli disematkan untuk BBCA (target harga Rp 9.600), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) (Rp 3.900), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) (Rp 12.800), dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) (Rp 3.000).
Rully Arya Wisnubroto berpandangan bahwa saham-saham di sektor perbankan, dengan valuasi yang masih menarik dan momentum ekonomi saat ini, sangat layak diperhatikan. Sektor komoditas juga disebutnya masih bisa menjadi pertimbangan. Ia menyarankan investor untuk mencermati saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Indosat Tbk (ISAT), PT Smart Telecom Sejahtera Tbk (EXCL), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Oktavianus Audi menganggap emiten yang sensitif terhadap suku bunga akan mendapatkan sentimen positif, meliputi sektor keuangan, properti, teknologi, konsumer siklikal, dan otomotif. Ia mengeluarkan rekomendasi beli untuk BMRI (target harga Rp 5.300), BBRI (Rp 4.250), dan BBCA (Rp 9.000). Sementara itu, trading buy diberikan untuk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan target harga Rp 3.450, PT Astra International Tbk (ASII) Rp 6.800, dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) Rp 1.080.
Praska Putrantyo menambahkan, sektor penggerak IHSG di bulan November akan berasal dari perbankan dan konsumer non-primer, sementara sektor properti dan konstruksi berpotensi menjadi penahan. Saham BBCA (target harga jangka panjang Rp 9.800), BBRI (Rp 5.025), BMRI (Rp 5.200), AMRT (Rp 2.400), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) (Rp 1.500), dan ICBP (Rp 10.000) dianggap masih layak dicermati.
Ringkasan
IHSG diproyeksikan mengalami koreksi pada November 2025 setelah ditutup melemah pada akhir Oktober. Meskipun demikian, IHSG masih mencatatkan kenaikan secara bulanan dan year to date. Analis pasar memiliki pandangan beragam mengenai prospek IHSG di bulan November, dengan potensi window dressing menjelang akhir tahun sebagai salah satu faktor yang diperhatikan.
Beberapa analis merekomendasikan sektor perbankan dan saham-saham blue chip seperti BBCA, BBRI, dan BMRI untuk dicermati. Selain itu, sektor telekomunikasi, energi, konsumer, dan komoditas juga menjadi perhatian. Investor disarankan untuk memantau data ekonomi global dan domestik serta laporan keuangan kuartal III 2025 untuk membuat keputusan investasi yang tepat.