Scoot.co.id , JAKARTA – Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell menegaskan risiko inflasi yang meningkat dan pelemahan pasar tenaga kerja membuat arah kebijakan suku bunga ke depan semakin penuh tantangan.
“Risiko jangka pendek terhadap inflasi cenderung naik, sementara risiko terhadap ketenagakerjaan condong turun — situasi yang menantang. Risiko yang datang dari dua sisi berarti tidak ada jalur yang bebas risiko,” ujar Powell dalam pidatonya di Greater Providence Chamber of Commerce, Rhode Island, dikutip dari Bloomberg, Rabu (24/9/2025).
Powell tidak memberikan sinyal apakah dirinya akan mendukung pemangkasan suku bunga pada rapat The Fed berikutnya di Oktober.
: Wall Street Terkoreksi Setelah Pernyataan Hati-hati Ketua The Fed
Dalam sesi tanya jawab, Powell juga membantah tuduhan bahwa kebijakan bank sentral dipengaruhi oleh politik.
“Kami melihat apa yang terbaik untuk masyarakat yang kami layani. Kebanyakan tuduhan bahwa kami politis hanyalah serangan murahan,” tegasnya.
: : Harga Emas Kokoh di Dekat Rekor, Sentimen Geopolitik dan The Fed Jadi Penopang
Powell juga mengingatkan bahwa krisis keuangan 2008–2009 dan pandemi Covid-19 meninggalkan luka jangka panjang. Dia menuturkan, di banyak negara demokrasi, kepercayaan publik terhadap institusi ekonomi dan politik telah terguncang.
“Mereka yang bertugas di sektor publik saat ini harus fokus melaksanakan misi penting sebaik mungkin di tengah badai dan arus silang yang kuat,” ujarnya.
: : Beda Pandangan, Gubernur The Fed Sekutu Trump Ingin Suku Bunga Turun Lebih Dalam
Pidato Powell kali ini senada dengan pernyataannya dalam konferensi pers 17 September lalu, usai The Fed memangkas suku bunga acuan ke kisaran 4%–4,25%, yang menjadi pemangkasan pertama di 2025.
Saat itu, Powell menyebut langkah tersebut sebagai pemotongan berbasis manajemen risiko untuk merespons tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja.
Presiden AS Donald Trump, selain menekan The Fed untuk memangkas suku bunga lebih dalam, juga kerap menuding Powell mengambil keputusan yang menguntungkan Partai Demokrat.
Data terbaru menunjukkan perlambatan tajam dalam penciptaan lapangan kerja, diperburuk oleh penurunan pasokan tenaga kerja akibat kebijakan penegakan imigrasi yang lebih ketat di bawah pemerintahan Trump.
“Ada perlambatan signifikan baik di sisi pasokan maupun permintaan tenaga kerja — perkembangan yang tidak biasa dan menantang,” jelas Powell.
Meski demikian, Powell menegaskan The Fed tetap harus mewaspadai dampak tarif impor yang diberlakukan Trump, yang berpotensi menimbulkan efek inflasi persisten.
Dia menilai kenaikan harga baru-baru ini sebagian besar didorong tarif, namun masih menganggapnya sebagai efek sekali jalan.
“Powell tidak se-dovish yang diharapkan pasar, mirip dengan nada konferensi pers pekan lalu, Namun pandangannya bahwa tarif hanya bersifat satu kali seharusnya memberi lampu hijau untuk melanjutkan pelonggaran,” tulis ekonom Nationwide Oren Klachkin.
Perdebatan di internal The Fed semakin mencerminkan perbedaan pandangan yang lebar terkait arah suku bunga. Proyeksi kuartalan terbaru menunjukkan median ekspektasi dua kali pemangkasan tambahan tahun ini, meski sebagian pejabat melihat cukup satu kali atau bahkan tidak perlu pemangkasan lagi pada 2025.
Sejumlah pejabat memilih berhati-hati karena inflasi masih di atas target 2%, sementara yang lain menekankan pelemahan pasar tenaga kerja. Gubernur The Fed Michelle Bowman sebelumnya menegaskan bahwa The Fed harus bertindak tegas memangkas suku bunga agar tidak tertinggal.
Sementara itu, anggota baru Dewan Gubernur, Stephen Miran, mendorong pemangkasan agresif sepanjang sisa tahun ini.
Trump yang menunjuk Bowman dan Miran, terus menekan Powell untuk menurunkan suku bunga secara drastis. Presiden AS itu bahkan berupaya memecat Gubernur The Fed Lisa Cook, langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kini menunggu putusan penting Mahkamah Agung terkait independensi bank sentral.