Menkeu Diganti: BRICS Tantang IMF, Era Soemitronomic Dimulai?

Opini ini ditulis oleh Raditya Indrajaya (Pemerhati kebijakan ekonomi dan publik)

Langit finansial Indonesia seketika diselimuti mendung. Pada Senin pagi, 8 September 2025, kabar pergantian Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan sontak mengguncang pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 100 poin, sektor perbankan terhuyung, dan nilai tukar rupiah sempat tersentuh level Rp16.527 per dolar AS.

Suasana di lantai bursa saat itu bagaikan ruang sidang perceraian: penuh ketegangan, bisik-bisik spekulasi, dan pencarian kepastian. Beberapa investor dilanda kepanikan dan melepas saham, sebagian menyalahkan keadaan, sementara yang lain sigap menyelamatkan portofolio. Singkatnya, pasar dibuat terkejut layaknya penonton sinetron yang aktor utamanya tiba-tiba diganti tanpa pemberitahuan.

Namun, gejolak pasar serupa bukanlah fenomena baru. Kilas balik ke tahun 2010, pengunduran diri Sri Mulyani dari Kabinet SBY juga memicu penurunan IHSG yang lebih drastis, mencapai -3,8% dalam satu hari perdagangan.

Meski demikian, pasar kemudian pulih, bahkan melonjak lebih tinggi. Ini mengindikasikan bahwa sentimen pasar tidaklah membenci Indonesia, melainkan hanya merespons ketidakpastian. Begitu arah kebijakan menjadi jelas, kepercayaan investor akan kembali terbangun.

Untuk memahami lebih dalam, mari kita analisis peta teknikal IHSG. Level support jangka pendek berada di 7.700, yang merupakan area psikologis sekaligus Exponential Moving Average (EMA) 50. Sementara itu, support kuat ditemukan di rentang 7.550–7.600, mengacu pada garis trendline sejak Januari 2025. Resistance terdekat berada di 7.900–7.950, dengan indikator Relative Strength Index (RSI) yang mencapai 43, mengindikasikan posisi mendekati oversold.

Secara teknikal, pelemahan yang terjadi justru membuka ruang bagi peluang akumulasi. Selama level support 7.550 tidak tertembus, IHSG berpotensi menguji level 8.200–8.300 pada kuartal IV 2025. Dengan demikian, investor yang kemarin panik menjual sahamnya, bisa jadi akan menyesal di bulan-bulan mendatang.

Proyeksi untuk kuartal IV 2025 menawarkan dua skenario ekstrem: merosot tajam atau melonjak tinggi. Dalam skenario optimis, IHSG akan mengalami rebound menuju 8.200–8.300, nilai tukar rupiah stabil di kisaran Rp15.300–Rp15.500 per dolar AS, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun tetap bertahan di bawah 7%.

Skenario ini akan memicu kembalinya sentimen positif dari arus modal asing, serta mempercepat pemulihan sektor perbankan dan infrastruktur. Analoginya, IHSG seperti tukang ojek online: setelah terjatuh, ia akan bangkit, menggosok lutut sebentar, lalu tancap gas lebih kencang menuju tujuan.

Jika skenario moderat yang berlaku, IHSG akan bergerak sideways dalam rentang 7.600–7.950. Nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp15.600–Rp15.800 per dolar AS, sementara yield SBN 10 tahun naik tipis ke 7,2%–7,4%. Dalam kondisi ini, investor domestik akan menjadi penopang utama, sedangkan investor asing cenderung wait and see, mirip pengantin baru yang grogi, maju-mundur, namun tak beranjak pergi.

Di sisi lain, skenario pesimistis memproyeksikan IHSG akan anjlok ke 7.400–7.500. Nilai tukar rupiah berpotensi menembus Rp16.000 per dolar AS, dengan yield SBN 10 tahun melambung ke 7,8%–8%. Sentimen yang dominan adalah eksodus investor asing, sementara investor domestik terpaksa menjadi ‘palang pintu’ untuk menahan kejatuhan.

Meskipun IHSG sempat melorot, ini bukanlah pertanda kiamat. Pasar justru sedang menguji arah dan mencari titik keseimbangan baru. Ekonomi Indonesia jauh lebih tangguh dan besar daripada hanya bergantung pada satu nama menteri. Sri Mulyani telah menorehkan jejak legacy yang kuat, dan kini saatnya Purbaya Yudhi Sadewa membuktikan kapasitasnya.

Kapal besar bernama Indonesia tak akan karam hanya karena nahkodanya berganti. Justru, dengan hadirnya energi dan visi baru, kapal ini berpotensi melaju lebih cepat. Pasar hanya membutuhkan keyakinan bahwa kompas fiskal tetap menunjuk ke arah yang tepat.

Dan, selalu ingat pepatah bijak di pasar: “Buy on rumors, sell on news… lalu beli lagi saat diskon.” IHSG melorot? Bagi investor yang memiliki kesabaran, ini justru bisa menjadi hadiah pembuka dari babak baru optimisme.

Bergeser dari IMF ke BRICS

Lengsernya Sri Mulyani bukanlah disebabkan oleh kasus korupsi, kegagalan menjaga disiplin fiskal, atau kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebaliknya, hal itu justru diyakini karena pendekatannya yang terlalu disiplin, terlalu ‘IMF’, terlalu ‘World Bank’, dan mungkin, terlalu condong ke ‘Amerika’.

Bersamaan dengan kabar tersebut, Presiden RI Prabowo Subianto kembali dari Beijing dengan senyum tipis penuh makna dan dada tegap. Meski tak banyak bicara, layaknya harimau tua yang kembali dari rimba raksasa Tiongkok dan hutan salju Rusia, Prabowo membawa lebih dari sekadar oleh-oleh diplomatik. Ia membawa sinyal kuat pergeseran poros dunia.

Selama ini, posisi Indonesia dalam ekonomi global kerap diibaratkan sebagai tamu VIP dalam pesta IMF—dihargai, dipuji, namun tetap diminta ‘mencuci piring’. Sri Mulyani adalah duta kebanggaan di pesta tersebut, yang dengan jargon defisit 3%, rasio pajak, dan ‘confidence investor‘, berhasil menjaga citra Indonesia di mata Barat.

Namun, pesta itu kini tak lagi ramai. Dunia telah berubah. Amerika Serikat dilanda ‘demam utang’, Eropa terengah-engah menghadapi krisis, dan IMF mulai kehilangan pamor di negara-negara Selatan. Di sisi lain, BRICS+ tumbuh dengan kepercayaan diri yang tinggi. Mata uang seperti yuan, rubel, rupee, dan real Brasil mulai menawarkan narasi baru: kolaborasi tanpa kolonialisme. Prabowo melihat pergeseran ini, dan ia telah membuat pilihan strategis.

Tak ada pemimpin yang akan mengganti menteri sekaliber Sri Mulyani tanpa alasan yang sangat fundamental. Publik mungkin hanya melihat ini sebagai reshuffle kabinet biasa. Namun, bagi para pengamat dalam, ini adalah ‘reset fiskal‘ yang membutuhkan dukungan strategis dari dua kekuatan global, yaitu Cina dan Rusia.

Dalam pertemuannya dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin, Prabowo kemungkinan menyampaikan isyarat yang jelas: “Saya bertekad mengubah cara kami mengelola ekonomi. Kami akan lebih berani mengalokasikan dana untuk kesejahteraan rakyat, tak lagi terbelenggu oleh aturan Washington. Akankah Anda mendukung langkah ini?” Jawaban mereka, boleh jadi sederhana dan lugas: “Silakan. Kami siap membantu. Namun, singkirkan dulu ‘penjaga gerbang IMF’ itu.”

Optimisme Menkeu Baru

Lalu, bagaimana dengan sosok pengganti Sri Mulyani? Purbaya Yudhi Sadewa bukanlah nama asing di kancah ekonomi nasional. Mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini memiliki reputasi cemerlang di bidang riset ekonomi dan stabilitas keuangan. Ia sangat memahami risiko sistemik, pernah berkiprah di Bappenas, dan memiliki rekam jejak akademis yang solid.

Ia membawa tiga modal kuat yang menjadi harapannya. Pertama, menjaga disiplin fiskal tanpa mengorbankan ruang ekspansi. Kedua, memperkuat koordinasi kebijakan fiskal-moneter dengan Bank Indonesia untuk meredam tekanan global. Ketiga, secara agresif mendorong investasi baru, khususnya di sektor energi hijau dan infrastruktur.

Meskipun investor asing mungkin merasa kehilangan ‘nama besar’ Sri Mulyani, kredibilitas sejati tidaklah semata-mata soal popularitas individu. Kebijakan yang konsisten dan terukur jauh lebih berharga daripada sekadar nama besar.

Namun, perlu diwaspadai, jika Menteri Keuangan baru salah melangkah, reaksi pasar bisa jauh lebih sensitif dibandingkan netizen Twitter yang ditinggal idola menikah diam-diam. IHSG, ibarat tim nasional sepak bola kita: saat kalah, semua mendadak menjadi komentator; namun saat menang, semua berebut mengklaim ‘sudah saya prediksi sejak awal’. Padahal, mayoritas hanya mengikuti arus. Sama halnya dengan investor yang kemarin panik menjual, saat rebound terjadi, mereka akan kembali membeli sambil berujar ‘diskon kemarin kelewat’.

Pergantian Menteri Keuangan ini dapat diibaratkan mengganti sopir bus pariwisata. Penumpang sempat dilanda kepanikan, khawatir akan oleng. Namun, jika sopir baru mampu mengendalikan kemudi dengan stabil dan menginjak pedal gas secara proporsional, semua akan kembali tenang, bahkan mungkin mencapai tujuan lebih cepat. Bedanya, di jalan tol kita membayar e-toll, di pasar modal kita membayar spread bid-offer.

Momentum Kudeta Ekonomi

Penggantian Sri Mulyani jauh melampaui urusan pribadi. Ini adalah penanda pergeseran fundamental dalam ideologi ekonomi Indonesia: dari kebijakan penghematan (austerity) menuju belanja kedaulatan (sovereign spending), dari defisit ketat menuju investasi masif, serta dari orientasi Barat beralih ke Timur.

Ke depan, kita mungkin akan menyaksikan bahwa target pertumbuhan 8% bukan lagi sekadar slogan politik. Kredit murah dari Cina akan mengalir deras untuk sektor pangan, energi, dan industri. Sebuah ‘oligarki baru’ berpotensi lahir, namun bukan dari Harvard Club, melainkan dari sekolah kader di Beijing dan pabrik baja di Vladivostok.

Ini bukan tentang sentimen negatif terhadap Sri Mulyani. Ini tentang membaca tanda-tanda perubahan zaman. Siapa pun yang memahami sejarah akan tahu bahwa ada masanya ekonom seperti Soemitro Djojohadikusumo (ayahanda Prabowo) juga memimpikan hal serupa: kemandirian ekonomi.

Kini, sejarah seolah berputar. Prabowo tampak berhasrat menuntaskan ide lama tersebut, bukan sekadar dengan teori, melainkan dengan tindakan konkret. Dan, tindakan pertama yang diambil adalah mencopot simbol rezim fiskal lama.

Selamat datang di Indonesia versi 2025, sebuah era di mana geopolitik turut menentukan arah fiskal, dan pertemuan bilateral dapat menggeser posisi Menteri Keuangan. Kita haturkan salam hormat untuk Bu Ani, dan pada saat yang sama, mari kita sambut era ‘Soemitronomic‘!

Disclaimer: Artikel ini bukan produk jurnalistik dari Pikiran Rakyat. Kolom opini adalah wadah bagi akademisi/pakar/praktisi di bidang terkait dalam menyampaikan sudut pandang atau gagasannya.

Ringkasan

Artikel ini membahas tentang gejolak pasar yang terjadi akibat pergantian Menteri Keuangan, dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa, dan potensi dampaknya terhadap ekonomi Indonesia. Pergantian ini dilihat sebagai sinyal pergeseran kebijakan ekonomi dari pendekatan IMF/World Bank ke arah kolaborasi dengan BRICS+, khususnya Cina dan Rusia. Presiden Prabowo Subianto dianggap memiliki peran kunci dalam perubahan ini, dengan tujuan mencapai kemandirian ekonomi dan pertumbuhan yang lebih tinggi.

Purbaya Yudhi Sadewa diharapkan dapat menjaga disiplin fiskal, memperkuat koordinasi kebijakan fiskal-moneter, dan mendorong investasi di sektor energi hijau dan infrastruktur. Artikel ini juga menyajikan skenario optimis, moderat, dan pesimistis terkait proyeksi IHSG dan nilai tukar Rupiah di kuartal IV 2025. Pergantian Menteri Keuangan ini diibaratkan sebagai momentum “kudeta ekonomi,” menandai pergeseran fundamental dalam ideologi ekonomi Indonesia menuju era ‘Soemitronomic’.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *