Rupiah Melemah, Tapi Stabil Akhir Tahun? Cek Prediksi Kurs!

Nilai tukar rupiah terus berjuang menghadapi dominasi dolar Amerika Serikat (AS) yang kian menguat, terutama dipicu oleh lonjakan Indeks Dolar AS (DXY). Meskipun demikian, ada proyeksi optimis bahwa valuasi mata uang Garuda mampu menjaga stabilitasnya hingga penghujung tahun ini.

Pada perdagangan Selasa (4/20/2025), rupiah tercatat melemah 0,19% ke level Rp 16.708 per dolar AS berdasarkan data Bloomberg. Sementara itu, acuan kurs Jisdor Bank Indonesia (BI) menunjukkan pelemahan lebih dalam, yakni 0,36%, mencapai Rp 16.724 per dolar AS.

Sutopo Widodo, Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah sebagian besar merupakan imbas dari faktor eksternal yang begitu kuat. Pemicu utamanya adalah penguatan signifikan Indeks Dolar AS (DXY) yang mencapai level tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Sentimen ini menguat setelah sejumlah pejabat Federal Reserve (Fed) memberikan sinyal kehati-hatian terkait potensi pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada Desember mendatang.

Sutopo menambahkan, pernyataan dari Gubernur Cook dan Presiden Goolsbee secara efektif telah meredam ekspektasi pasar akan pelonggaran kebijakan moneter yang agresif. Akibatnya, para pelaku pasar cenderung menggeser portofolio mereka, membuat dolar AS semakin menarik sebagai aset investasi. “Situasi ini memicu sentimen risk-off, di mana terjadi arus modal keluar dari aset-aset berisiko seperti rupiah,” jelas Sutopo kepada Kontan, Selasa (4/10/2025).

Peningkatan permintaan terhadap dolar AS saat ini tidak terlepas dari dua faktor utama. Pertama, sentimen risk-off global mendorong pencarian aset aman (safe haven), di mana dolar AS menjadi pilihan utama di mata dunia. Kedua, di dalam negeri Indonesia, kebutuhan akan dolar AS meningkat signifikan untuk berbagai transaksi esensial. Ini meliputi pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah dan korporasi, pembiayaan impor barang-barang vital seperti bahan baku industri, serta keperluan repatriasi dividen atau penarikan keuntungan oleh investor asing menjelang penutupan tahun buku. Tekanan semakin bertambah dengan sinyal hawkish dari The Fed, yang turut menaikkan harga dolar AS dan memperparah kebutuhan konversi mata uang untuk seluruh keperluan ini.

Hingga kini, rupiah masih kesulitan untuk menguat, seperti diungkapkan Sutopo, karena dipengaruhi oleh disparitas suku bunga yang semakin menyempit serta tingginya imbal hasil di pasar global. Meskipun Bank Indonesia (BI) telah mengisyaratkan adanya ruang untuk pelonggaran kebijakan di masa depan, sinyal hawkish dari The Fed justru mempertahankan dolar AS di level yang tinggi. Kondisi ini secara langsung mengurangi daya tarik imbal hasil aset rupiah dibandingkan dengan aset dolar, sehingga sulit bagi rupiah untuk menarik minat investor.

Secara teknikal, rupiah tercatat telah menembus level resistensi psikologisnya. Dengan tren penguatan dolar yang berkelanjutan, rupiah diproyeksikan berpotensi menguji kisaran Rp 16.750 hingga Rp 16.800 per dolar AS dalam jangka pendek. Namun, Sutopo menekankan, proyeksi ini akan sangat bergantung pada rilis data tenaga kerja Amerika Serikat berikutnya, seperti laporan ADP dan data PHK Challenger, yang memiliki kekuatan untuk mengubah ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga The Fed.

Memasuki penghujung tahun, prospek rupiah diproyeksikan akan cenderung melemah atau bergerak sideways di level yang rentan, setidaknya hingga adanya kejelasan sikap dari The Fed pada pertemuan FOMC bulan Desember. Pelemahan ini didorong oleh dua pilar utama: faktor musiman, yaitu kebutuhan korporasi untuk menutup tahun buku dan melunasi utang, serta faktor fundamental global berupa sikap hawkish The Fed yang berkelanjutan dan penguatan dolar AS.

Kendati demikian, potensi pelemahan rupiah ini diperkirakan dapat tertahan oleh kekuatan fundamental domestik yang relatif solid, seperti surplus neraca perdagangan yang berkelanjutan, serta komitmen tegas Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas makroekonomi. “Apabila BI konsisten dengan sikapnya dan kinerja ekspor tetap menunjukkan soliditas, rupiah diproyeksikan akan stabil di kisaran Rp 16.600 – Rp 16.850 per dolar AS hingga akhir tahun 2025, sehingga mampu terhindar dari pelemahan drastis yang tak terkendali,” tutup Sutopo.

Ringkasan

Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS dipicu oleh penguatan Indeks Dolar AS (DXY) akibat sinyal kehati-hatian The Fed terkait pemangkasan suku bunga. Hal ini memicu sentimen risk-off dan meningkatkan permintaan dolar AS untuk pembayaran utang luar negeri, impor, dan repatriasi dividen. Secara teknikal, rupiah berpotensi menguji Rp 16.750-Rp 16.800 per dolar AS, tergantung data tenaga kerja AS.

Meskipun rupiah diproyeksikan cenderung melemah atau sideways hingga akhir tahun karena faktor musiman dan sikap hawkish The Fed, pelemahan ini diperkirakan tertahan oleh fundamental domestik yang solid, seperti surplus neraca perdagangan dan komitmen BI untuk menjaga stabilitas. Rupiah diproyeksikan stabil di kisaran Rp 16.600 – Rp 16.850 per dolar AS jika BI konsisten dan ekspor tetap solid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *