Scoot.co.id JAKARTA. Nilai tukar Rupiah kembali menunjukkan pelemahan signifikan di pasar uang, melanjutkan tren negatif selama tiga hari berturut-turut. Pada Kamis (23/10/2025), Rupiah berada di level Rp 16.645 per dolar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI). Angka ini mencerminkan depresiasi sebesar 0,17% dari posisi sehari sebelumnya, Rp 16.617 per dolar AS pada Rabu (22/10/2025). Pelemahan serupa juga tercatat di pasar spot, di mana Rupiah ditutup pada Rp 16.629 per dolar AS, melemah 0,27% dari Rp 16.585.
Kondisi ini menempatkan Rupiah sebagai salah satu mata uang di Asia yang memimpin pelemahan, bersanding dengan won Korea Selatan. Sentimen negatif global, terutama akibat penguatan dolar AS yang berkelanjutan dan eskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, menjadi pendorong utama. Tekanan ini meresap ke pasar regional, meskipun sejumlah bank sentral Asia, termasuk Bank of Korea, memilih untuk menahan suku bunga acuan. Won sendiri terpuruk 0,6% ke posisi terendah dalam enam bulan terakhir, mencerminkan kerentanan prospek ekonomi Korea Selatan, kendati Bank of Korea menahan suku bunga demi mencegah gelembung harga properti, sambil mengisyaratkan potensi pemangkasan di masa depan.
Di ranah domestik, Rupiah turut tertekan oleh kekhawatiran yang meningkat terhadap ketidakpastian ekonomi. Dinamika politik yang bergejolak, khususnya pasca pencopotan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah mengguncang sentimen pasar, menambah kekhawatiran terhadap disiplin fiskal pemerintah. Faktor-faktor ini, ditambah dengan penguatan dolar AS, semakin membebani Rupiah yang telah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terlemah di kawasan.
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan pada Rabu (22/10) lalu, meski bertujuan menjaga stabilitas Rupiah, belum mampu memberikan dorongan signifikan. Pasar masih cenderung memproyeksikan adanya ruang pelonggaran moneter lebih lanjut di masa mendatang. Goldman Sachs, misalnya, memperkirakan BI akan memangkas suku bunga dua kali masing-masing 25 basis poin pada kuartal IV-2025. Namun, jika pelemahan Rupiah terus berlanjut, langkah pelonggaran ini bisa tertunda hingga awal 2026. Sementara itu, rapat kebijakan BI berikutnya telah dijadwalkan pada 18–19 November, yang akan menjadi titik perhatian pasar.
“Pasar kini menantikan bukti konkret koordinasi kebijakan dan disiplin fiskal dari pemerintah. Kami memperkirakan Rupiah kemungkinan akan bertahan di kisaran Rp 16.500 per dolar AS hingga kepercayaan investor pulih kembali,” ujar Philip Wee, Senior FX Strategist di DBS, seperti dilansir dari Reuters. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,1%, didorong oleh pertimbangan pemerintahan Trump untuk memperluas pembatasan ekspor perangkat lunak ke China, mulai dari laptop hingga mesin jet. Langkah ini dianggap sebagai balasan atas pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) oleh Beijing, dan segera memicu aksi jual di pasar negara berkembang, di tengah kekhawatiran dampak rambatan ke Asia Tenggara yang sangat bergantung pada perdagangan dengan China.
Analis valas di OCBC, Christopher Wong, juga menyoroti bagaimana “Rencana AS untuk memperluas pembatasan ekspor teknologi ke China, indikasi sanksi baru terhadap Rusia, serta anjloknya harga logam telah membuat pasar regional menjadi makin berhati-hati.” Dengan dinamika global yang kompleks ini, investor kini mengalihkan perhatian pada rilis data inflasi ritel AS yang akan diumumkan Jumat (24/10), di tengah penutupan sebagian lembaga pemerintahan AS. Meskipun pasar telah mengantisipasi penurunan suku bunga pada rapat Federal Reserve pekan depan, data inflasi tersebut masih dapat memengaruhi ekspektasi dan arah kebijakan pelonggaran moneter selanjutnya.
Ringkasan
Nilai tukar Rupiah terus melemah dan menyentuh Rp16.645 per dolar AS berdasarkan Jisdor Bank Indonesia, melanjutkan tren negatif selama tiga hari berturut-turut. Pelemahan ini sejalan dengan pelemahan mata uang Asia lainnya seperti won Korea Selatan. Sentimen negatif global, penguatan dolar AS, dan ketegangan dagang antara AS dan China menjadi faktor pendorong utama pelemahan Rupiah.
Di sisi domestik, ketidakpastian ekonomi dan dinamika politik turut menekan Rupiah. Bank Indonesia (BI) telah menahan suku bunga acuan, namun pasar masih mengharapkan adanya pelonggaran moneter lebih lanjut. Pasar kini menantikan koordinasi kebijakan dan disiplin fiskal dari pemerintah untuk memulihkan kepercayaan investor.