Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), telah mengambil langkah signifikan dalam kebijakan moneternya dengan resmi menurunkan suku bunga acuan federal funds rate sebesar 25 basis poin (0,25%). Penurunan ini menempatkan suku bunga di kisaran 4%–4,25%, sebagaimana diumumkan melalui pernyataan hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) terbaru.
Keputusan krusial ini diambil setelah The Fed mengamati adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi AS pada paruh pertama tahun ini. Data menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja yang melambat, diikuti oleh sedikit kenaikan tingkat pengangguran—meskipun secara historis masih tergolong rendah. Di sisi lain, tekanan inflasi justru kembali meningkat dan masih berada pada level yang relatif tinggi, menambah kompleksitas tantangan ekonomi yang dihadapi.
Dalam pernyataan resminya, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menegaskan kembali komitmennya untuk mencapai lapangan kerja maksimum dan mengembalikan inflasi ke target jangka panjang sebesar 2%.
Selain penyesuaian suku bunga, The Fed juga memastikan kelanjutan program pengurangan kepemilikan asetnya, atau yang dikenal sebagai balance sheet runoff. Kebijakan ini mencakup pelepasan surat utang pemerintah AS (Treasury securities) dan sekuritas berbasis hipotek, sebagai bagian dari upaya normalisasi neraca keuangan bank sentral.
Meskipun keputusan penurunan suku bunga ini mendapatkan dukungan mayoritas dari anggota FOMC, tidak semua suara bulat. Terdapat satu dissenting vote dari Stephen I. Miran, yang berpendapat bahwa pemangkasan suku bunga seharusnya dilakukan lebih agresif, yaitu sebesar 50 basis poin.
Dampak bagi Indonesia
Keputusan strategis Federal Reserve untuk memangkas suku bunga acuan ini bukan hanya berdampak pada ekonomi AS, melainkan juga memiliki implikasi signifikan yang meluas bagi pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Berikut ini perkiraan konsekuensi logis atas kebijakan moneter terbaru Bank Sentral AS ini:
- Rupiah berpotensi menguat: Dengan menurunnya imbal hasil investasi dalam dolar AS, daya tarik aset di negara-negara berkembang seperti Indonesia akan meningkat. Hal ini berpotensi memberikan dorongan positif yang signifikan bagi nilai tukar Rupiah, mendorong penguatan terhadap mata uang AS.
- Obligasi pemerintah lebih menarik: Obligasi pemerintah, khususnya Surat Utang Negara (SUN), diperkirakan akan menjadi lebih menarik bagi investor asing. Peningkatan pembelian SUN oleh investor global dapat mendorong kenaikan harga obligasi sekaligus menurunkan imbal hasilnya (yield), yang merupakan sinyal positif bagi pasar surat utang domestik.
- Pasar saham dapat sentimen positif: Sentimen positif juga diproyeksikan akan menyelimuti pasar saham Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang terdorong oleh masuknya arus modal asing yang mencari tingkat pengembalian investasi (return) yang lebih tinggi di emerging market, termasuk pasar modal Indonesia.
Kebijakan Bank Indonesia (BI)
Menyikapi perkembangan kebijakan moneter global ini, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan memiliki fleksibilitas untuk membuka ruang pelonggaran moneter pada semester kedua tahun ini. Namun, keputusan tersebut akan tetap diambil dengan mempertimbangkan secara cermat stabilitas nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi domestik yang berkelanjutan.
Secara keseluruhan, keputusan pemangkasan suku bunga oleh The Fed ini membuka prospek positif bagi Indonesia. Hal ini diharapkan dapat berkontribusi pada stabilitas Rupiah, menarik lebih banyak arus modal asing masuk, serta memberikan dukungan vital bagi pertumbuhan ekonomi nasional.