Huayou-IBC: Sumber Dividen Baru Danantara? Analisis Potensi Baterai

Scoot.co.id JAKARTA — Proyek ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) yang digagas oleh konsorsium Zhejiang Huayou Cobalt Co bersama Indonesia Battery Corporation (IBC) dinilai ekonom sebagai peluang ekonomi yang sangat menjanjikan. Potensi ini semakin diperkuat dengan kabar keterlibatan BPI Danantara dalam inisiatif strategis ini.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan bahwa peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek ekosistem EV ini dapat terealisasi pada periode September-Oktober 2025. Perlu diketahui, Huayou Cobalt telah mengambil alih posisi LG Energy Solution Ltd. yang sebelumnya memutuskan untuk mundur dari proyek ambisius ini.

LG Energy Solution sebelumnya berkomitmen untuk mengucurkan investasi sebesar US$9,8 miliar, atau setara dengan Rp160,8 triliun (berdasarkan asumsi kurs Rp16.413 per US$), untuk Proyek Titan dan Omega. Proyek Titan mencakup investasi di sektor pertambangan nikel, pabrik smelter High-Pressure Acid Leaching (HPAL), serta fasilitas produksi prekursor dan katoda. Sementara itu, Proyek Omega berfokus pada manufaktur sel baterai.

Meskipun demikian, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan belum ada perkembangan terbaru terkait proyek baterai Huayou ini. Namun, ia memastikan bahwa target groundbreaking proyek tersebut masih sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. “Belum, belum ada [perkembangan terbaru],” ujarnya singkat di Kantor Kementerian ESDM, Senin (4/8/2025).

Peluang Ekonomi Bagi Danantara dan IBC

Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Ishak Razak, menegaskan bahwa proyek ini membuka prospek ekonomi yang signifikan bagi Danantara dan IBC. Dengan stabilitas harga nikel yang terjaga, proyek ini memiliki potensi besar untuk menjadi sumber dividen yang menguntungkan bagi Danantara.

Ishak menambahkan, inisiatif ini tidak hanya berhenti pada keuntungan finansial. “Selain itu, proyek ini juga akan menciptakan hingga sekitar 10.000 lapangan kerja dan memberikan efek berganda (multiplier effect) yang luas pada sektor-sektor pendukung seperti perdagangan dan akomodasi,” jelas Ishak kepada Bisnis.

Lebih lanjut, kerja sama ini diharapkan dapat mendorong proses alih teknologi dari Huayou kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernaung di bawah Danantara. Langkah ini krusial untuk memperkuat ekosistem kendaraan listrik domestik. Peningkatan nilai tambah ekspor prekursor baterai juga menjadi target utama, dengan memanfaatkan pangsa pasar di luar Tiongkok, seperti Eropa, terutama dengan adanya perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Namun, proyek sebesar ini tidak luput dari tantangan. Ishak menggarisbawahi adanya pergeseran tren penggunaan baterai kendaraan listrik yang semakin kuat mengarah ke teknologi berbasis litium, khususnya lithium iron phosphate (LFP).

Menurutnya, dalam jangka panjang, teknologi baterai LFP ini berpotensi menggerus pangsa pasar baterai berbasis nikel, baik jenis nickel manganese cobalt (NMC) maupun nickel cobalt aluminium (NCA). “Jika tidak ada inovasi dalam teknologi baterai nikel, maka pangsa pasarnya akan terus menyusut, yang pada akhirnya dapat menurunkan harga nikel dan mengurangi potensi pendapatan konsorsium ini,” imbuh Ishak, menyoroti pentingnya adaptasi teknologi.

Dari perspektif keberlanjutan lingkungan, proyek ekosistem baterai ini masih menghadapi tantangan serius. Penggunaan batu bara yang masif untuk pembangkit listrik smelter dalam jangka pendek dinilai kurang ideal. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diketahui memiliki dampak sosial dan lingkungan yang signifikan, sebagaimana dialami masyarakat di sekitar lokasi PLTU smelter.

Ishak menyebutkan, “Flying ash dari PLTU telah mencemari kualitas air dan udara, serta merusak tanaman dan tambak warga.” Oleh karena itu, Danantara bersama Huayou diharapkan dapat menyusun rencana strategis untuk mengadopsi dan menggunakan energi terbarukan, termasuk pembangunan pembangkit listrik berbasis sumber energi bersih.

“Langkah ini juga penting untuk mengurangi risiko penolakan dari pasar Eropa dan Amerika Serikat yang semakin tegas menolak dirty nickel,” ucap Ishak, menekankan pentingnya praktik produksi yang berkelanjutan.

Diberitakan sebelumnya, Danantara akan terlibat aktif dalam proyek ekosistem baterai dari hulu hingga hilir yang dikembangkan oleh dua konsorsium raksasa asal Tiongkok, yaitu Huayou dan Contemporary Amperex Technology Co Ltd. (CATL).

Dana abadi negara (sovereign wealth fund) yang baru dibentuk ini berencana untuk masuk ke dalam konsorsium Indonesia pada dua proyek baterai EV tersebut, dengan tujuan utama untuk meningkatkan kepemilikan saham nasional.

“Ada Danantara yang kita akan ikut masuk dalam rangka memperkuat dari konsorsium ini sehingga diharapkan kepemilikan dari proyek ini mayoritas bisa berada di konsorsium Indonesia, baik itu melalui BUMN maupun juga bersama-sama dengan Danantara langsung,” terang Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani, pada konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Untuk diketahui, porsi kepemilikan saham Indonesia pada proyek baterai berbasis nikel, baik yang digarap oleh Huayou (Proyek Titan) maupun CATL (Proyek Dragon), di sisi hulu atau proyek tambang sudah mencapai 51% atau mayoritas. Akan tetapi, pada tahapan selanjutnya yang terbagi dalam beberapa joint venture (JV), porsi kepemilikan saham Indonesia melalui BUMN baru mencapai 30%. Presiden Prabowo Subianto disebut telah memberikan instruksi agar porsi tersebut ditambah hingga 40% sampai dengan 50%, menunjukkan komitmen kuat terhadap kepemilikan nasional.

Rosan menjelaskan bahwa Proyek Titan, yang kini secara resmi diambil alih oleh Huayou dari LG Energy Solution, memiliki nilai investasi total sebesar US$9,8 miliar. LG telah mengucurkan investasi awal sebesar US$1,2 miliar, dan sisanya sebesar US$8 miliar akan dilanjutkan oleh Huayou, menandakan kesinambungan dan skala besar proyek ini.

Ringkasan

Proyek ekosistem baterai kendaraan listrik yang digagas Huayou Cobalt bersama IBC dinilai memiliki potensi ekonomi yang besar, terutama dengan keterlibatan BPI Danantara. Proyek ini diharapkan menjadi sumber dividen bagi Danantara, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan efek berganda pada sektor pendukung. Target groundbreaking proyek ini adalah September-Oktober 2025, meskipun belum ada perkembangan terbaru.

Namun, proyek ini menghadapi tantangan seperti pergeseran tren ke baterai LFP yang berpotensi menggerus pangsa pasar baterai nikel dan isu keberlanjutan lingkungan terkait penggunaan batu bara. Oleh karena itu, adopsi energi terbarukan menjadi krusial untuk keberlanjutan proyek dan penerimaan di pasar global. Danantara juga akan memperkuat konsorsium agar kepemilikan saham nasional meningkat dalam proyek baterai EV ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *