KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejak denyut aktivitasnya kembali diaktifkan pada 10 Agustus 1977, pasar modal Indonesia terus menunjukkan geliatnya. Di usianya yang ke-48 tahun, momen ini menjadi panggung istimewa untuk merefleksikan perjalanan panjangnya, merayakan berbagai pencapaian gemilang, sekaligus menatap tantangan dan peluang yang terbentang di masa depan.
Secara historis, keberadaan pasar modal di Indonesia sejatinya jauh melampaui usia kemerdekaan negara ini. Bursa efek telah beroperasi sejak era kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Melansir laporan tahunan Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2013, Pemerintah Hindia Belanda melalui Amsterdamse Effectenbeurs (pasar modal Amsterdam) kala itu membuka cabang bursa efek di Batavia (Jakarta) dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel. Pada masanya, bursa di Batavia ini tercatat sebagai yang tertua keempat di Asia, setelah Bombay, Hong Kong, dan Tokyo.
Bursa tersebut didirikan dengan tujuan memfasilitasi perdagangan efek saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi pemerintah (provinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di Belanda, serta efek perusahaan Belanda lainnya. Pesatnya perkembangan dan pertumbuhan pasar modal pada masa itu begitu menarik minat masyarakat kota lainnya, sehingga membuka peluang bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan bursa cabang di Surabaya pada 11 Januari 1925 dan di Semarang pada 1 Agustus 1925.
Namun, geliat pertumbuhan pasar modal di Indonesia sempat terhambat pada tahun 1939 seiring dengan memanasnya situasi politik di Eropa, yang kemudian memicu Perang Dunia II. Kondisi ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijakan sentralisasi perdagangan efek di Batavia dan menutup bursa efek di Surabaya dan Semarang. Puncaknya, pada 17 Mei 1940, seluruh kegiatan perdagangan efek resmi ditutup, disusul dengan peraturan yang mewajibkan semua efek disimpan di bank-bank yang ditunjuk pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa ini secara efektif menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada era penjajahan Belanda.
Setelah vakum selama 12 tahun, pemerintah Indonesia kembali membuka bursa efek di Jakarta berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang No. 15 tahun 1952 tentang bursa. Sayangnya, memasuki tahun 1958, perdagangan di bursa kembali mengalami kelesuan dan kemunduran signifikan. Faktor utamanya adalah gejolak politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah Indonesia terhadap Belanda, yang secara drastis mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan memuncak pada aksi pengambilalihan seluruh perusahaan Belanda di Indonesia sesuai Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 tahun 1958. Situasi politik yang tidak stabil ditambah dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang pasar modal membuat pertumbuhan bursa efek di Indonesia mengalami kemunduran panjang dari tahun 1958 hingga 1976.
Titik balik penting terjadi pada 10 Agustus 1977, ketika pemerintah Indonesia meresmikan kembali beroperasinya pasar modal melalui Keputusan Presiden RI No. 52 tahun 1976. Aktivasi kembali pasar modal ini ditandai dengan pencatatan saham PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama yang ‘go public’, diikuti oleh berbagai perusahaan lainnya. Perjalanan modernisasi terus berlanjut; pada tahun 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi. Tak lama berselang, pada tahun 1990, bursa efek yang semula dijalankan oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) memasuki proses swastanisasi dan resmi berdiri sebagai Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 13 Juli 1992. Sementara itu, Bapepam bertransformasi menjadi Badan Pengawas Pasar Modal, yang kemudian pada tahun 2013, perannya diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam upaya memperkuat infrastrukturnya, BEJ menerapkan langkah-langkah strategis pada tahun 1995 dengan penggunaan sistem otomasi perdagangan JATS (Jakarta Automated Trading Systems). Penguatan lebih lanjut dilakukan BEJ dengan mengaplikasikan sistem perdagangan tanpa warkat (scripless trading) pada tahun 2000 dan melaksanakan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) pada tahun 2002. Masih di tahun 1995, melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pemerintah menetapkan peran BEJ dan BES sebagai bagian dari Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal Indonesia. Pada tahun yang sama, BPI juga melakukan merger dengan BES. Puncak konsolidasi terjadi pada tahun 2007, ketika BES secara resmi bergabung dengan BEJ dan keduanya bersatu membentuk entitas tunggal yang kini dikenal sebagai Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pencapaian dan Tantangan
Menarik mundur lima tahun ke belakang, performa pasar modal Indonesia, yang tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), menunjukkan tren pertumbuhan yang mengesankan. Hingga penutupan perdagangan Jumat (8/8), IHSG berada di level 7.533,38, meningkat sekitar 25,99% dibandingkan posisi akhir Desember 2020 yang tercatat di 5.979,07. Kinerja positif ini turut diiringi oleh peningkatan jumlah emiten yang signifikan. Per 8 Agustus 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat 957 perusahaan telah melantai di bursa. Dari sisi kapitalisasi pasar, nilainya kini telah menembus angka Rp 13,55 triliun, sebuah indikator peningkatan skala dan nilai pasar modal nasional yang substansial.
Di samping itu, partisipasi investor pasar modal Indonesia juga tumbuh pesat sejak tahun 2020. Pada tahun tersebut, tercatat 3,8 juta Single Investor Identification (SID). Setahun kemudian, jumlahnya melonjak drastis hingga 93%, atau bertambah 3,6 juta SID, menjadi 7,4 juta. Pertumbuhan berlanjut pada tahun 2022 dengan penambahan 38% atau 2,8 juta SID, mencapai 10,3 juta. Tren positif ini terus berlanjut di tahun 2023 dengan kenaikan 18% atau 1,9 juta SID, menjadi 12,1 juta, dan di tahun 2024 jumlahnya naik 22,2% atau 2,7 juta SID, mencapai 14,8 juta. Paling menggembirakan, jumlah investor pasar modal Indonesia kembali mencatatkan rekor baru, menembus 17.016.329 SID pada Kamis (3/7). Capaian monumental ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah investor telah melampaui target 2 juta investor baru yang ditetapkan BEI pada tahun 2025, dengan peningkatan total sebanyak 2.144.690 SID (11,42%) dibandingkan posisi akhir tahun 2024 yang sebesar 14.871.639 SID.
Meskipun demikian, ada sejumlah langkah penting yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pasar modal yang lebih berkualitas di masa mendatang. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, mengemukakan beberapa poin krusial. Pertama, perlindungan terhadap investor harus tetap menjadi prioritas utama melalui penerapan aturan yang transparan, objektif, dan tidak memihak pada emiten atau kelompok tertentu. Kedua, investor selayaknya memperoleh keuntungan yang memadai agar termotivasi untuk terus bertransaksi dan berinvestasi di pasar modal. Ketiga, peningkatan kapitalisasi pasar dan kualitas emiten perlu diupayakan dengan mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk melantai di bursa, alih-alih sekadar mengejar kuantitas emiten dari perusahaan berskala kecil. Budi juga menekankan perlunya evaluasi terhadap sejumlah aturan seperti suspensi, Unusual Market Activity (UMA), dan Full Call Auction (FCA), termasuk memperjelas kriteria penerapannya. “Jangan ada yang tidak jelas kriteria sebuah emiten terkena aturan itu,” tegas Budi kepada Kontan, Minggu (10/8/2025).
Hal serupa berlaku untuk ketentuan haircut atau penilaian emiten dalam perhitungan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD), yang menurutnya harus dirumuskan secara jelas, transparan, dan objektif. Lebih lanjut, Budi menyoroti perkembangan positif masuknya sejumlah saham domestik ke indeks bergengsi seperti Morgan Stanley Capital International dan FTSE Russell, yang tentu dapat menarik minat investor asing. Namun, ia mengingatkan bahwa bobot saham Indonesia di indeks global terus mengalami penurunan hingga hanya sekitar 1%, disebabkan oleh berbagai faktor yang perlu diatasi.
Dihubungi secara terpisah, Founder sekaligus Chief Marketing Officer & Partner Jarvis Asset Management, Kartika Sutandi, turut mengamini bahwa sejumlah penyesuaian diperlukan untuk mewujudkan bursa yang lebih berkualitas. Menurutnya, langkah-langkah tersebut antara lain mencakup penghapusan aturan Unusual Market Activity (UMA) dan Full Call Auction (FCA), serta pembukaan akses informasi kode broker investor. “Hapus UMA dan FCA, lalu buka kode broker,” ujar Kartika kepada Kontan, Minggu (10/8).
Ringkasan
Pasar modal Indonesia merayakan HUT ke-48 dengan refleksi sejarah panjangnya sejak era kolonial Belanda, melalui pasang surut hingga kembali diaktifkan pada tahun 1977. Pertumbuhan signifikan terlihat dalam lima tahun terakhir, dengan peningkatan IHSG, jumlah emiten, kapitalisasi pasar yang menembus Rp 13,55 triliun, dan rekor jumlah investor yang mencapai 17 juta SID, melampaui target BEI tahun 2025.
Meskipun pencapaian membanggakan, tantangan tetap ada untuk meningkatkan kualitas pasar modal. Perlindungan investor, keuntungan memadai bagi investor, peningkatan kapitalisasi pasar, dan evaluasi aturan seperti suspensi, UMA, dan FCA menjadi fokus utama. Penyesuaian lain seperti penghapusan UMA dan FCA, serta pembukaan akses informasi kode broker investor juga diperlukan untuk mewujudkan bursa yang lebih berkualitas.