JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkapar di tengah sentimen negatif global dan domestik, terjun bebas hingga menembus level psikologis 8.000. Di tengah badai pasar modal yang menguji ketahanan investor, harapan kini tertumpu pada rencana ambisius Danantara Indonesia untuk menyuntikkan likuiditas dalam jumlah besar, sebuah langkah yang dinanti-nantikan untuk meredam gejolak.
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Jumat (17/10/2025) menunjukkan, indeks komposit ambruk 2,57%, mengakhiri sesi di level 7.915,65. Hari itu menjadi cerminan tekanan jual masif, dengan hanya 116 saham yang berhasil menguat, sementara 598 saham terperosok ke zona merah, dan 94 saham stagnan, mengilustrasikan betapa parahnya pukulan yang diterima pasar.
Menurut Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas, ambruknya IHSG secara fundamental merefleksikan ‘risk-off mode global’ yang sedang mencengkeram. Kombinasi antara krisis kredit yang memburuk di Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik yang memanas antara AS dan China menjadi pemicu utama kepanikan para investor global.
Liza menjelaskan, rentetan kasus gagal bayar korporasi di AS seperti First Brands, Tricolor Holdings, Zions Bancorporation, dan Western Alliance telah memicu kekhawatiran meluasnya efek domino di sektor keuangan. Kekhawatiran ini mendorong investor untuk berbondong-bondong melepas aset berisiko, mencari perlindungan di aset aman seperti emas. Lonjakan harga emas dunia yang fantastis ke kisaran US$4.300 per troy ounce menjadi indikator jelas bahwa pasar ekuitas global tengah terguncang hebat. Sayangnya, pasar saham di Asia dan Eropa turut terkoreksi, dengan IHSG mencatat penurunan paling dalam, terutama karena karakternya yang memiliki kedalaman likuiditas yang relatif dangkal.
Tak hanya dari eksternal, sentimen domestik juga memperparah tekanan. Rumor yang beredar menyebutkan bahwa pemerintah berkeinginan untuk menyaksikan ‘IHSG yang sesungguhnya’ tanpa intervensi saham-saham konglomerat besar, dibarengi dengan upaya serius mengendalikan saham ‘gorengan’. Hal ini, menurut Liza, membuat sejumlah saham big caps yang biasanya menjadi penopang indeks justru ikut dilepas, memperbesar tekanan jual. Kondisi ini menyingkap wajah riil pasar saham Indonesia, di mana struktur kepemilikan asing yang dominan di sektor perbankan memperlihatkan kerentanan terhadap arus keluar dana asing yang signifikan.
Namun, di balik awan gelap tersebut, secercah harapan muncul dari rencana injeksi likuiditas oleh Danantara Indonesia ke pasar modal. Danantara dikabarkan akan menggelontorkan investasi sebesar US$10 miliar, setara dengan sekitar Rp165 triliun, yang akan mulai direalisasikan pada Oktober 2025. Dari total investasi tersebut, sekitar 80% dialokasikan untuk proyek dalam negeri, termasuk porsi signifikan yang akan mengalir ke pasar modal.
Berdasarkan estimasi Bisnis, jika 5% hingga 10% dari dana investasi Danantara dialokasikan untuk pasar saham, nilainya bisa mencapai Rp8 triliun hingga Rp16 triliun. Alokasi dana sebesar ini diharapkan mampu berfungsi sebagai ‘liquidity buffer‘ yang krusial untuk menahan pelemahan lebih lanjut, sekaligus memperbaiki kedalaman pasar modal Indonesia yang selama ini dinilai masih tipis dibandingkan negara tetangga seperti India dan Hong Kong.
Oleh karena itu, Liza memandang bahwa arah pergerakan indeks komposit ke depan akan sangat bergantung pada dua faktor kunci: kecepatan stabilisasi sektor keuangan di Amerika Serikat dan realisasi nyata injeksi likuiditas domestik oleh Danantara Indonesia. “Jika injeksi itu benar terealisasi dan pasar global mulai tenang, ada peluang teknikal rebound ke level psikologis 8.000 dalam jangka pendek,” pungkasnya.
Namun, selama volatilitas global masih cenderung tinggi dan belum ada respons kebijakan konkret yang signifikan dari AS maupun China, IHSG dinilai masih rawan berfluktuasi. Investor mungkin akan cenderung defensif, melirik saham-saham dengan fundamental kuat dan likuid sebagai pilihan utama. Pelaku pasar juga kini menantikan rilis kinerja keuangan kuartal III/2025 yang diharapkan dapat menjadi pendorong utama pergerakan saham berbasis fundamental.
Menimbang banyaknya gejolak di pasar baik jangka pendek maupun menengah, Kiwoom Sekuritas tetap mempertahankan target IHSG hingga akhir tahun di kisaran 7.800 hingga 8.000.
———————–
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
IHSG mengalami penurunan tajam hingga menembus level 8.000 akibat sentimen negatif global dan domestik. Faktor-faktor seperti krisis kredit di AS dan ketegangan geopolitik antara AS dan China memicu aksi jual masif. Selain itu, rumor mengenai intervensi pemerintah terhadap saham konglomerat juga memperparah tekanan, menyoroti kerentanan pasar saham Indonesia terhadap arus dana asing.
Harapan kini tertumpu pada rencana Danantara Indonesia untuk menyuntikkan likuiditas sebesar US$10 miliar ke pasar modal. Alokasi dana ini diharapkan dapat menjadi penyangga likuiditas yang krusial dan memperbaiki kedalaman pasar. Pergerakan IHSG ke depan akan bergantung pada stabilisasi sektor keuangan AS dan realisasi injeksi likuiditas oleh Danantara.