Scoot.co.id JAKARTA. Pasar Surat Berharga Negara (SBN) tengah menghadapi tantangan dengan adanya arus modal asing yang keluar, bersamaan dengan peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Kondisi ini tentu menjadi perhatian bagi para investor dan pengamat ekonomi.
Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa selama periode transaksi 22–25 September 2025, terjadi aliran dana asing keluar sebesar Rp 2,71 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar, yakni Rp 2,16 triliun, ditarik dari pasar SBN.
Namun, jika dilihat secara kumulatif sepanjang tahun 2025 hingga 25 September, investor asing masih mencatatkan beli bersih (netto) sebesar Rp 36,25 triliun di pasar SBN. Sementara itu, terjadi jual bersih (netto) sebesar Rp 51,34 triliun di pasar saham dan Rp 128,85 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Tekanan pada pasar SBN ini tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun. Pada hari Jumat, 26 September 2025, yield SBN 10 tahun berada di level 6,43%, mengalami kenaikan sebesar 0,002% secara harian dan 0,089% dalam sebulan terakhir.
Indikator risiko investasi, atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun, juga mengalami kenaikan. Per 28 September 2025, CDS berada di level 84,03 basis poin, meningkat dibandingkan dengan posisi 69,59 pada 19 September 2025.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengamati bahwa arus keluar modal asing yang berkelanjutan dari obligasi pemerintah menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan yield obligasi.
Menurut Josua, tekanan pada pasar SBN ini dipicu oleh dua faktor eksternal utama. Pertama, penguatan data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang mengangkat imbal hasil US Treasury (UST) dan nilai dolar AS. Kedua, sentimen risiko global yang lebih berhati-hati setelah pengumuman tarif baru oleh AS.
Dipengaruhi Sentimen Pemangkasan Suku Bunga, Begini Proyeksi Imbal Hasil SBN
Revisi PDB AS kuartal kedua yang meningkat menjadi 3,8% secara tahunan, disertai dengan data konsumsi pribadi yang tetap kuat, menjadi sorotan utama.
“Hal ini menyebabkan pasar mengurangi ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga The Fed secara agresif. Akibatnya, dolar AS dan UST menguat, memberikan tekanan pada aset berisiko, termasuk SBN,” jelas Josua kepada Kontan, Jumat (26/9).
Selain itu, pemberlakuan tarif baru oleh AS terhadap produk farmasi bermerek, truk berat, dan furnitur semakin meningkatkan sentimen risk-off di pasar Asia dan melemahkan mata uang di kawasan. Hal ini mendorong kenaikan CDS Indonesia dan pergerakan kurva SBN.
Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menyoroti faktor internal yang memicu kenaikan yield, yaitu pelemahan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp 16.700 per dolar AS.
“Arus keluar modal asing juga dipicu oleh meningkatnya persepsi risiko fiskal Indonesia,” jelas Rizal kepada Kontan, Jumat (26/9/2025).
Menurut Rizal, hal ini terjadi setelah RAPBN 2026 menetapkan defisit yang melebar menjadi Rp 689 triliun, atau 2,68% terhadap PDB.
Dengan persepsi fiskal yang lebih ekspansif dan peningkatan pasokan obligasi, investor asing cenderung mengurangi kepemilikan obligasi jangka panjang, mengikuti tren flight to quality menuju aset dolar.
BI Sudah Borong SBN Rp 217,10 Triliun Hingga 16 September 2025
Josua menambahkan bahwa kondisi pasar kredit dan pelemahan nilai tukar rupiah mencerminkan kekhawatiran investor. “BI sendiri telah menegaskan intervensi yang lebih tegas untuk menstabilkan rupiah. Ini merupakan cerminan dari tekanan portofolio,” katanya.
Oleh karena itu, Josua menilai bahwa investor perlu mencermati persepsi terhadap kebijakan domestik di masa depan. Ketidakpastian fiskal dan potensi pelonggaran moneter lebih lanjut dapat meningkatkan premi risiko dan menekan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya akan memaksa kenaikan kompensasi imbal hasil.
Selain itu, investor juga perlu memantau risiko terkait suplai-permintaan SBN dan dinamika likuiditas valas perbankan, termasuk kebijakan pengetatan atau perubahan pada produk simpanan valas bank BUMN yang sedang dievaluasi oleh pemerintah.
Rizal juga menekankan risiko yang perlu diwaspadai, termasuk suku bunga AS yang berpotensi bertahan tinggi, risiko fiskal, defisit APBN yang melebar, dan potensi overhang pembiayaan.
Namun, Rizal tetap melihat adanya peluang aliran dana asing untuk kembali masuk ke pasar SBN. Kuncinya, menurutnya, terletak pada kredibilitas fiskal. “Jika pemerintah mampu menyeimbangkan ekspansi belanja dengan disiplin defisit, pasar akan lebih percaya,” imbuh Rizal.
Rupiah Tertekan, Intervensi Perlu Diperkuat dan Suku Bunga SBN Dinaikkan
Sebaliknya, jika pasar melihat potensi monetisasi berlebihan melalui BI, yield bisa terdorong lebih tinggi.
Senada dengan Rizal, Josua berpendapat bahwa dengan adanya sinyal kebijakan domestik yang lebih jelas, investor asing masih berpotensi melirik pasar SBN Indonesia, terutama terkait kepastian arah fiskal dan komunikasi BI yang konsisten mengenai stabilitas rupiah.
Hingga akhir tahun, Josua melihat prospek pasar SBN masih berpotensi konstruktif meskipun akan diwarnai volatilitas. BI yang aktif menstabilkan rupiah melalui intervensi di pasar valas dan DNDF, menurut Josua, dapat membantu menahan transmisi tekanan global ke SBN.
Dengan demikian, Josua memproyeksikan imbal hasil SBN 10 tahun dapat berada di kisaran 6,35%–6,65% hingga akhir tahun.
Sementara itu, Rizal memproyeksikan imbal hasil SBN 10 tahun hingga akhir tahun bisa berada di rentang 6,4%–6,6%, dengan potensi risiko naik hingga 6,7%.
Rizal melihat bahwa prospek pasar SBN di akhir tahun masih akan tertekan. “Tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah, penguatan dolar, serta yield UST yang masih tinggi akan menahan perbaikan pasar,” terangnya.
Namun, Rizal tetap melihat sisi positifnya. Pasar SBN masih ditopang oleh inflasi domestik yang relatif terkendali dan cadangan devisa yang masih cukup untuk menopang stabilitas.
Kemenkeu Tegaskan Dana Rp 200 Triliun untuk Perbankan Tak Boleh Dipakai Beli SBN