Mata Uang Asia Tertekan Dolar AS, Prospek Stabilisasi Terbuka Akhir Tahun

Dalam sepekan terakhir, pasar mata uang Asia menunjukkan gejolak signifikan, dengan sejumlah mata uang utama seperti won Korea (KRW), peso Filipina (PHP), dan rupee India (INR) mengalami tekanan hebat terhadap dominasi dolar Amerika Serikat (AS). Uniknya, di tengah pelemahan tersebut, rupiah (IDR) justru memperlihatkan daya tahan dengan sedikit penguatan.

Mengutip data Bloomberg pada Selasa (28/10/2025), rupee India (INR) terpantau melemah tipis 0,02% menjadi 88,26 per dolar AS. Senada, won Korea (KRW) mengalami penurunan 0,18% ke level 1.435,18, sementara peso Filipina (PHP) terkoreksi 0,38% ke posisi 59,13 per dolar AS. Di sisi lain, rupiah (IDR) menunjukkan pergerakan yang berbeda, berhasil menguat tipis 0,08% ke angka 16.608 per dolar AS, sebuah anomali menarik di tengah tren pelemahan regional.

Pengamat Ekonomi, Mata Uang, dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyoroti bahwa tekanan pada mata uang Asia belakangan ini sebagian besar bersumber dari faktor eksternal yang berasal dari Amerika Serikat. “Salah satunya adalah libur pemerintahan federal di Amerika yang mengakibatkan penundaan rilis banyak data ekonomi, sehingga pasar kehilangan panduan yang jelas,” ungkap Ibrahim kepada Kontan pada tanggal yang sama. Ia menambahkan bahwa ketidakpastian seputar arah perang dagang AS–Tiongkok, ditambah dengan penurunan harga minyak mentah global, turut memperparah tekanan di pasar keuangan. “Selama empat hingga lima hari terakhir, pasar terus mengalami koreksi cukup tajam karena kondisi global yang masih sangat sensitif terhadap isu perang dagang,” jelasnya.

Tekanan terhadap rupiah juga tidak lepas dari sentimen domestik, menurut Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong. Ekspektasi penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia serta kekhawatiran terkait perubahan metode perhitungan indeks MSCI disebut-sebut memicu sentimen risk-off dan arus keluar modal asing dari pasar domestik. Lukman juga menguraikan bahwa peso Filipina tertekan oleh prospek pelonggaran kebijakan moneter, sementara rupee India terdampak oleh peningkatan permintaan dolar dari para importir dan kenaikan harga minyak dunia.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan lebih lanjut bahwa kombinasi berbagai faktor telah membuat mata uang Asia kesulitan untuk menguat. “Kenaikan harga minyak yang tinggi menekan negara pengimpor bersih seperti Filipina dan India, sementara arus keluar dari pasar saham dan kekhawatiran terhadap arah kebijakan fiskal Jepang semakin memperburuk tekanan,” ujarnya, menggarisbawahi kompleksitas situasi.

Meskipun dihadapkan pada tantangan, sejumlah analis mulai melihat adanya tanda-tanda stabilisasi prospek hingga akhir tahun. Ibrahim Assuaibi memperkirakan situasi akan membaik jika bank sentral AS melanjutkan penurunan suku bunga dan ketegangan perang dagang antara AS–Tiongkok mereda. “Jika ada kesepakatan dalam perang dagang, pasar akan cenderung lebih stabil,” tambahnya optimis.

Pandangan serupa disampaikan oleh Josua Pardede, yang menilai bahwa ruang penguatan dolar AS mulai terbatas. Hal ini disebabkan arah kebijakan The Fed yang cenderung lebih longgar, sehingga imbal hasil US Treasury diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan signifikan. “Kondisi ini menahan dorongan kenaikan dolar secara luas,” paparnya. Josua juga menambahkan bahwa faktor musiman seperti peningkatan remitansi pada akhir tahun dapat membantu penguatan peso Filipina.

Para ahli juga memberikan proyeksi kurs mata uang hingga akhir tahun. Ibrahim Assuaibi memperkirakan USD/JPY akan berada di kisaran 157,60, USD/IDR di 16.800, USD/INR di 87,50, dan USD/PHP di 57,23. Sementara itu, Lukman Leong mematok kisaran USD/IDR antara 16.500–17.000, USD/JPY di 155,00, USD/INR di 89–90, dan USD/PHP di 61–62. Dari Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan USD/IDR akan bergerak di 16.300–16.500, USD/JPY di 150–154, USD/INR di 87–89, dan USD/PHP di 58–59.

Mata Uang yang Layak Dikoleksi

Untuk strategi investasi, Ibrahim Assuaibi menyarankan dua mata uang yang menarik untuk dikoleksi, yaitu yen Jepang (JPY) dan dolar Singapura (SGD), mengingat keduanya relatif stabil di tengah ketidakpastian global yang masih berlanjut. Josua Pardede menambahkan bahwa beberapa mata uang Asia lainnya juga berpotensi menarik. “Yen menarik untuk akumulasi bertahap, ringgit stabil dan berisiko rendah, sementara baht dan yuan onshore bisa menjadi pilihan taktis karena didukung oleh ekspor dan kebijakan yang positif,” pungkasnya, memberikan panduan komprehensif bagi para investor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *