Dua isu ekonomi krusial yang menyita perhatian publik pada Selasa (30/9) kembali mendominasi sorotan utama kumparanBisnis: pengungkapan detail harga keekonomian subsidi Pertalite dan LPG 3 kg, serta kesepakatan divestasi saham Freeport kepada pemerintah Indonesia. Kedua kabar ini tak hanya memengaruhi kantong masyarakat luas, tetapi juga mencerminkan arah kebijakan fiskal dan langkah strategis dalam penguasaan aset vital negara.
Purbaya Ungkap Harga Pertalite Seharusnya Rp 11.700/L dan LPG 3 Kg Rp 42.750
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, baru-baru ini merinci secara gamblang perbedaan signifikan antara harga keekonomian berbagai barang subsidi dengan harga yang selama ini dibayarkan oleh masyarakat. Pernyataan ini membuka mata publik terhadap besarnya beban yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mewujudkan keberpihakan fiskal guna memastikan harga energi tetap terjangkau bagi rakyat Indonesia.
Untuk Pertalite, harga keekonomian seharusnya mencapai Rp 11.700 per liter. Namun, masyarakat hanya perlu membayar Rp 10.000 per liter. Ini berarti APBN menanggung selisih Rp 1.700, atau sekitar 15 persen dari harga keekonomian, melalui mekanisme kompensasi. Pada realisasi tahun anggaran 2024, subsidi Pertalite mencapai Rp 56,1 triliun, menjangkau lebih dari 157,4 juta kendaraan.
Skema subsidi yang lebih besar tampak pada Solar. Dari harga keekonomian sebesar Rp 11.950 per liter, konsumen hanya mengeluarkan Rp 6.800 per liter. Selisih Rp 5.150 atau 43 persen sepenuhnya ditanggung oleh APBN. Proyeksi realisasi 2024 untuk subsidi Solar mencapai Rp 89,7 triliun, dengan penerima manfaat lebih dari 4 juta kendaraan.
Sementara itu, untuk minyak tanah, harga keekonomian mencapai Rp 11.150 per liter, namun masyarakat cukup membayar Rp 2.500 per liter. Ini berarti APBN menanggung subsidi sebesar Rp 8.650 atau 78 persen dari harga asli. Total realisasi subsidi minyak tanah pada 2024 diperkirakan mencapai Rp 4,5 triliun, melayani sekitar 1,8 juta rumah tangga.
Pemerintah Tanggung 70 Persen Harga LPG dan Listrik Subsidi
Fokus pada LPG 3 kilogram, Purbaya mengungkapkan bahwa subsidi yang ditanggung pemerintah bahkan lebih tinggi, mencapai 70 persen dari harga keekonomian. Jika harga asli per tabung seharusnya Rp 42.750, masyarakat hanya membayar Rp 12.750. Dengan demikian, APBN menanggung Rp 30.000 per tabung. Realisasi subsidi LPG 3 kg pada 2024 diproyeksikan mencapai Rp 80,2 triliun, melayani 41,5 juta pelanggan.
“Untuk LPG 3 kg, subsidi mencapai 70 persen dari harga keekonomian. Pola serupa terjadi pada listrik, solar, dan minyak tanah,” jelas Purbaya, menekankan konsistensi kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga energi esensial.
Pola ini juga terjadi pada sektor kelistrikan. Untuk rumah tangga dengan daya 900 VA bersubsidi, masyarakat hanya membayar Rp 600/kWh dari harga keekonomian Rp 1.800/kWh. APBN menutup selisih Rp 1.200 atau 67 persen melalui subsidi, dengan realisasi 2024 sebesar Rp 156,4 triliun dan mencakup 40,3 juta pelanggan.
Adapun untuk listrik rumah tangga 900 VA non-subsidi, meskipun tidak sepenuhnya disubsidi, pemerintah masih menanggung sebagian beban melalui kompensasi. Dari harga keekonomian Rp 1.800/kWh, pelanggan membayar Rp 1.400/kWh, dengan selisih Rp 400 atau 22 persen yang ditanggung APBN. Realisasi kompensasi ini pada 2024 mencapai Rp 47,4 triliun, menjangkau 50,6 juta pelanggan.
Rosan Sebut Induk Freeport di AS Sepakat Lepas 12 Persen Saham ke RI
Di sisi lain, kabar gembira datang dari sektor investasi dan pertambangan, menandai langkah maju Indonesia dalam penguasaan sumber daya alamnya. Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengumumkan pencapaian penting: Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, induk perusahaan tambang raksasa tersebut, telah menyetujui pelepasan 12 persen saham kepada Indonesia. Kesepakatan bersejarah ini tercapai setelah Rosan Roeslani melakukan kunjungan dan pertemuan langsung dengan CEO Freeport-McMoRan, Richard C. Adkerson, serta pemilik perusahaan, Kathleen L. Quirk, di Amerika Serikat.
“Mereka sudah menyetujui untuk 12 persen. Kemarin saya juga di Amerika Serikat bertemu langsung dengan CEO dan pemiliknya, dan mereka sudah menyetujui untuk memberikan saham 12 persen secara free of charge,” tegas Rosan di Kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta, Selasa (30/9).
Rosan menjelaskan, keberhasilan negosiasi ini melampaui target awal Indonesia yang semula membidik 10 persen saham. Dengan tekad kuat, tim negosiator berhasil meningkatkan porsi divestasi menjadi 12 persen, sebuah capaian yang patut diapresiasi dalam upaya peningkatan kepemilikan negara atas PT Freeport Indonesia (PTFI).
Tidak hanya divestasi saham, Freeport-McMoRan juga menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan sosial di Papua. Perusahaan sepakat untuk membangun dua universitas dan dua rumah sakit di wilayah tersebut. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan layanan tenaga medis dan kualitas pendidikan, memberikan dampak positif jangka panjang bagi masyarakat Papua.
Pelepasan saham ini merupakan salah satu syarat krusial bagi Freeport untuk memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi mereka hingga tahun 2041. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa hasil divestasi ini sebagian akan dialokasikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua, memastikan manfaat ekonomi juga dirasakan secara lokal. Dengan langkah strategis ini, kepemilikan pemerintah di PT Freeport Indonesia (PTFI) akan meningkat secara signifikan, dari 51 persen menjadi 63 persen pada tahun 2041, memperkuat kedaulatan Indonesia atas sumber daya mineralnya.