Scoot.co.id JAKARTA. Nilai tukar rupiah menunjukkan pergerakan yang kontradiktif pada Selasa (16/9/2025), menghadirkan gambaran kompleks di tengah dinamika pasar keuangan. Sementara kurs acuan Bank Indonesia (BI) mencatat penguatan, pergerakan di pasar spot justru sebaliknya, melanjutkan tren pelemahan.
Berdasarkan data Bloomberg, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI menempatkan rupiah di level Rp 16.385 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka ini menandakan penguatan sebesar 0,12% dari posisi hari sebelumnya, Senin (15/9), yang berada di Rp 16.405 per dolar AS, menunjukkan potensi intervensi atau sentimen positif di awal sesi perdagangan.
Namun, di sisi pasar spot, tren berbeda terjadi. Bloomberg melaporkan bahwa rupiah justru kembali melemah untuk hari kedua berturut-turut, ditutup pada level Rp 16.440 per dolar AS. Penurunan ini sebesar 0,15% dari posisi penutupan sehari sebelumnya di Rp 16.416 per dolar AS, menyoroti tekanan signifikan yang dihadapi mata uang Garuda di akhir perdagangan.
Rupiah Spot Ditutup Melemah 0,15% ke Rp 16.440 per dolar AS pada Selasa (16/9)
Pelemahan rupiah di pasar spot ini terjadi di tengah fenomena global, yaitu tren pelemahan dolar AS. Indeks dolar, yang menjadi barometer kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama dunia, terkoreksi ke level 97,161. Ini merupakan posisi terendah sejak 24 Juli 2025, mengindikasikan tekanan jual yang kuat terhadap dolar AS secara menyeluruh.
Kondisi dolar AS yang tertekan ini didorong oleh semakin kuatnya ekspektasi Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya. Rapat kebijakan yang dijadwalkan pada Rabu (17/9) waktu setempat diperkirakan akan menjadi momentum krusial. Pasar hampir yakin pemangkasan minimal 25 basis poin akan terjadi, bahkan terbuka peluang untuk pemangkasan yang lebih agresif hingga 50 basis poin.
Secara lebih jauh, pelaku pasar memproyeksikan adanya pemangkasan tambahan sebesar 67 basis poin hingga akhir tahun, dan bahkan bisa mencapai 81 basis poin pada Januari 2026. Proyeksi ini mencerminkan pandangan bahwa The Fed perlu bergerak cepat untuk merespons kondisi ekonomi yang berubah.
Dolar AS Tertekan Ekspektasi The Fed
Tekanan terhadap The Fed juga datang dari Presiden AS Donald Trump, yang secara terang-terangan mendesak Ketua The Fed Jerome Powell untuk melakukan pemangkasan suku bunga yang lebih besar. Melalui unggahan di media sosial, Trump menyoroti melemahnya kondisi pasar tenaga kerja dan perlambatan di sektor perumahan sebagai alasan kuat untuk respons kebijakan moneter yang lebih agresif.
Data ketenagakerjaan AS yang terus menunjukkan pelemahan dalam beberapa pekan terakhir memang menjadi faktor pendorong utama ekspektasi pelonggaran moneter ini. Kondisi tersebut tidak hanya memicu pelemahan dolar AS dan imbal hasil obligasi, tetapi juga mendorong penguatan bursa saham AS. Wall Street bahkan mencetak rekor baru pada perdagangan Senin (15/9), mencerminkan optimisme investor terhadap kebijakan pelonggaran.
Chris Weston, Head of Research Pepperstone, menegaskan sentimen pasar: “Pasar semakin yakin The Fed berada di belakang kurva, sehingga perlu segera menurunkan suku bunga hingga ke level netral.” Ia menambahkan bahwa pemangkasan suku bunga tidak hanya berpotensi dilakukan pada bulan September, tetapi juga dapat berlanjut hingga Oktober, Desember, bahkan Januari 2026, menandakan siklus pelonggaran yang berkelanjutan.
Pemangkasan Suku Bunga Bikin Dolar AS dalam Mode Tertekan
Rupiah Balik Menguat di Tengah Sesi Selasa (16/9) Siang, Begini Penjelasan Analis
Merosotnya dolar AS memberikan kesempatan bagi mata uang utama lainnya untuk menguat. Euro berhasil naik 0,23% ke US$ 1,1787, mencapai level tertinggi sejak 24 Juli. Demikian pula, Poundsterling Inggris terapresiasi 0,19% ke US$ 1,3624, meskipun Bank of England diperkirakan masih akan menahan suku bunga dalam rapat kebijakan mendatang setelah rilis data ketenagakerjaan.
Di kawasan Asia Pasifik, dolar Australia menembus US$ 0,6677, menjadi yang tertinggi sejak November 2024, didukung oleh sentimen positif di bursa Asia yang mengikuti reli Wall Street. Sementara itu, yen Jepang juga sedikit menguat ke 146,975 per dolar, menjelang rapat Bank of Japan pada Jumat (19/9), di mana sebagian besar ekonom memperkirakan BoJ akan tetap mempertahankan suku bunga.
Rupiah dan Dolar Taiwan Menguat di Asia Selasa (16/9) Pagi, Yen Masih Perkasa
Kendati dolar AS berada dalam mode tertekan secara global dan mata uang lainnya menguat, rupiah justru gagal sepenuhnya mengikuti tren positif tersebut di pasar spot. Para analis mengamati bahwa tekanan terhadap rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik. Ini mencakup kebutuhan impor yang masih tinggi serta potensi arus keluar modal asing menjelang pengumuman keputusan penting dari The Fed.
Seorang analis pasar uang di Jakarta menjelaskan, “Rupiah masih rentan tertekan meskipun dolar AS melemah, karena investor cenderung wait and see menunggu kepastian arah kebijakan moneter The Fed.” Situasi ini menciptakan kehati-hatian di pasar dan membatasi potensi penguatan rupiah secara signifikan.
Melihat ke depan, pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan akan menjadi hasil dari kombinasi kompleks antara faktor global dan domestik. Fokus utama akan tertuju pada hasil rapat The Fed, pergerakan arus modal asing, serta intervensi strategis dari Bank Indonesia di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas mata uang nasional.
Ringkasan
Pada tanggal 16 September 2025, nilai tukar rupiah menunjukkan dinamika yang kompleks. Meskipun kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) dari Bank Indonesia (BI) menguat ke Rp 16.385 per dolar AS, pergerakan di pasar spot justru menunjukkan pelemahan, ditutup pada Rp 16.440 per dolar AS.
Pelemahan rupiah di pasar spot terjadi di tengah tren global melemahnya dolar AS akibat ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed). Namun, rupiah masih tertekan oleh faktor domestik seperti tingginya kebutuhan impor dan potensi arus keluar modal asing menjelang pengumuman kebijakan The Fed, sehingga pergerakan rupiah akan dipengaruhi kombinasi faktor global dan domestik.