Siaran langsung atau Live TikTok menjadi sorotan tajam menyusul peristiwa penggerudukan dan penjarahan rumah anggota DPR, Ahmad Sahroni, pada Sabtu (30/8) sore. Fenomena ini kembali memicu pertanyaan besar: bagaimana sebenarnya algoritma TikTok bekerja sehingga suatu konten bisa menyebar luas dan menjadi viral dalam waktu singkat?
Potensi Live TikTok untuk menjangkau audiens yang masif terletak pada kemampuannya menembus laman FYP atau For Your Page. Namun, misteri masih menyelimuti cara kerja algoritma yang memungkinkan siaran langsung masuk kategori konten FYP. Hingga berita ini dirilis, Katadata.co.id belum mendapatkan tanggapan dari TikTok mengenai mekanisme tersebut, dan platform itu sendiri tidak memerinci hal ini di laman resminya.
Meskipun demikian, beberapa sumber mencoba mengurai rahasia ini. Melansir laman Delivered Social, TikTok diketahui memprioritaskan konten Live yang mampu menghasilkan tingkat keterlibatan tinggi dalam beberapa menit pertama. Dengan kata lain, semakin banyak pengguna yang bergabung, berkomentar, dan berinteraksi secara aktif sejak awal siaran, maka semakin besar pula peluang konten tersebut untuk mendapatkan panggung utama di halaman FYP.
Dikutip dari Newyorker, penulis John Seabrok menjelaskan bahwa inti dari algoritma TikTok sangat bergantung pada tindakan penonton, seperti suka, komentar, dan lamanya waktu menonton video. Data respons pengguna terhadap konten di laman ‘Untuk Anda’ ini dipanen secara terus-menerus. Setiap interaksi penonton, baik itu video maupun Live, memberi sinyal kepada teknologi kecerdasan buatan (AI) dan machine learning di balik platform untuk mengukur tingkat keterlibatan.
Kedua teknologi canggih ini kemudian bekerja mengidentifikasi pola dalam data masif tersebut, membuat prediksi, dan selanjutnya merekomendasikan konten yang relevan. Kompleksitas perhitungan dan volume data yang diserap begitu besar, membuat cara kerja AI canggih seperti TikTok sulit dipahami secara gamblang.
Salah satu teori populer mengenai penyebaran konten adalah “teori batch“. Teori ini menyatakan bahwa algoritma TikTok akan menampilkan konten baru kepada sekelompok kecil pengguna terlebih dahulu di berbagai lokasi. Jika video tersebut berhasil menarik perhatian di kelompok awal, aplikasi akan memperluas jangkauannya ke kelompok pengguna yang lebih besar, lalu ke kelompok yang jauh lebih besar lagi. Dalam teori batch ini, ada perdebatan mengenai metrik utama yang menentukan keberhasilan. Beberapa berpendapat rasio suka terhadap tayangan menjadi kunci, sementara yang lain meyakini lamanya penonton bertahan hingga akhir video adalah faktor penentu. Kemungkinan besar, kombinasi dari semua faktor inilah yang berperan, meskipun TikTok sendiri hanya mengonfirmasi beberapa aspek tanpa detail yang jelas di situs web resminya.
Implikasi dari cara kerja algoritma ini juga disorot dalam film dokumenter berjudul ‘The Social Dilemma’. Tristan Harris, mantan Design Ethicist di Google, menjelaskan bahwa algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement), bukan untuk menyajikan informasi yang benar atau bermanfaat. Keterlibatan di sini mencakup setiap klik saat membuka konten, jumlah like, komentar, hingga lamanya waktu menonton. Semakin lama pengguna bertahan di platform media sosial, semakin besar pula kesempatan bagi iklan untuk masuk dan menyasar mereka. Oleh karena itu, Harris menyatakan bahwa pengguna dapat menikmati platform secara gratis karena perhatian mereka adalah produk berharga yang kemudian dijual kepada pengiklan.
Paralel dengan hal ini, mantan engineer YouTube, Guillaume Chaslot, menjelaskan bahwa algoritma YouTube dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton pengguna. Konten yang cenderung lebih ekstrem, seperti teori konspirasi, sensasional, atau provokatif, terbukti mampu membuat pemirsa bertahan lebih lama, sehingga konten semacam itu lebih sering direkomendasikan.
Di Indonesia sendiri, popularitas TikTok sangat masif. Berdasarkan data We Are Social dan Meltwater, jumlah pengguna TikTok di Indonesia mencapai 194,37 juta per Juli, sebuah lonjakan signifikan dibandingkan tahun 2023. Angka ini menegaskan betapa besar pengaruh algoritma dalam membentuk informasi dan pengalaman miliaran pengguna.
Menyikapi insiden penjarahan rumah Ahmad Sahroni, TikTok sempat menonaktifkan fitur Live pada Sabtu (30/8) malam. Fitur ini kemudian kembali dibuka pada Selasa (2/9). TikTok menyatakan tengah mempersiapkan upaya pengamanan tambahan dalam beberapa waktu ke depan, meskipun belum ada penjelasan detail mengenai bentuk pengamanan yang dimaksud. “Kami terus memantau situasi yang ada, dan memprioritaskan upaya dalam menyediakan platform yang aman dan beradab bagi para pengguna untuk berekspresi,” demikian keterangan dari TikTok, menegaskan komitmennya terhadap lingkungan digital yang aman.
Ringkasan
Artikel ini membahas mengenai viralnya siaran langsung (Live) TikTok yang berujung pada penjarahan rumah anggota DPR, Ahmad Sahroni. Hal ini memicu pertanyaan tentang cara kerja algoritma TikTok yang memungkinkan konten menyebar luas dan menjadi viral. Algoritma TikTok diprediksi memprioritaskan konten Live dengan tingkat keterlibatan tinggi di menit-menit awal, dan menggunakan teknologi AI serta machine learning untuk merekomendasikan konten berdasarkan interaksi pengguna.
Algoritma TikTok dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sehingga konten yang sensasional atau provokatif cenderung lebih sering direkomendasikan. Di Indonesia, pengguna TikTok sangat banyak, mencapai 194,37 juta per Juli. Setelah insiden penjarahan, TikTok sempat menonaktifkan fitur Live, namun kemudian dibuka kembali dengan janji pengamanan tambahan.