Bursa saham Amerika Serikat (AS), yang akrab disebut Wall Street, menutup perdagangan Rabu (10/9) dengan kinerja bervariasi. Pergerakan pasar ini utamanya didorong oleh kenaikan signifikan saham Oracle serta rilis data inflasi yang lebih rendah dari perkiraan, yang secara kolektif memperkuat ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) pada pekan mendatang.
Mengutip Reuters, indeks S&P 500 berhasil naik 0,30 persen, menutup sesi di level 6.532,04 poin, sekaligus mencetak rekor penutupan tertinggi untuk hari kedua berturut-turut. Senada, Nasdaq menguat tipis 0,03 persen ke level 21.886,06 poin, menandai rekor penutupan tertinggi selama tiga hari beruntun. Namun, kondisi berbeda dialami Dow Jones Industrial Average yang justru melemah 0,48 persen, berakhir di posisi 45.490,92 poin.
Sorotan utama jatuh pada saham Oracle yang melesat fantastis 36 persen, mencatat kenaikan harian terbesar sejak tahun 1992. Lonjakan ini dipicu oleh laporan perusahaan teknologi tersebut mengenai permintaan layanan cloud yang melonjak tajam dari berbagai perusahaan kecerdasan buatan (AI). Akibatnya, kapitalisasi pasar Oracle kini mencapai USD 922 miliar, melampaui raksasa seperti Eli Lilly, JPMorgan Chase, dan Walmart, serta mendekati nilai pasar Tesla yang sebesar USD 1,12 triliun.
Dampak positif dari booming AI turut terasa pada saham-saham terkait lainnya. Nvidia mengalami kenaikan 3,8 persen, Broadcom melonjak 10 persen, dan Advanced Micro Devices (AMD) meningkat 2,4 persen. Indeks chip PHLX pun ikut terdorong naik 2,3 persen, mencapai rekor tertinggi baru. Selain itu, saham pemasok listrik untuk pusat data, seperti Constellation Energy, Vistra, dan GE Vernova, masing-masing menguat lebih dari 6 persen, menunjukkan optimisme terhadap infrastruktur pendukung AI.
Sebaliknya, saham Apple menunjukkan tren negatif dengan penurunan 3,2 persen, melanjutkan rentetan penurunan selama empat hari berturut-turut. Penurunan ini dinilai sebagian pengamat karena Apple dianggap tertinggal dalam persaingan ketat di sektor AI.
Di sisi makroekonomi, rilis data harga produsen (PPI) yang lebih rendah dari perkiraan pasar juga memberikan dorongan signifikan, memperkuat keyakinan bahwa pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan terjadi tahun ini. Data pasar tenaga kerja terbaru juga menegaskan adanya perlambatan di pasar kerja AS, menambah argumen bagi pelonggaran kebijakan moneter.
Berdasarkan alat pemantau CME FedWatch, pelaku pasar kini sepenuhnya memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga setidaknya 25 basis poin pada pertemuan kebijakan pekan depan. Bahkan, terdapat peluang 10 persen untuk pemangkasan yang lebih besar, yakni 50 basis poin.
“Fundamental pasar saham domestik masih sangat kuat,” ujar Bill Northey, Senior Investment Director di U.S. Bank Wealth Management. Namun, ia menambahkan, “kita juga harus mengakui valuasi saat ini sudah cukup tinggi sehingga menjadi faktor alami yang menahan laju kenaikan.”
Dari sebelas sektor utama di S&P 500, enam di antaranya terpantau melemah. Sektor konsumsi non-pokok menjadi yang terdepan dalam penurunan dengan terkoreksi 1,58 persen, disusul oleh sektor konsumsi pokok yang turun 1,06 persen. Kini, perhatian investor tertuju pada rilis data harga konsumen (CPI) yang dijadwalkan Kamis (11/9), untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai arah inflasi AS ke depan.
Mengamini pandangan pasar, CIO GammaRoad Capital Partners, Jordan Rizzuto, menyatakan, “Menggabungkan data PPI yang lebih lunak, penekanan Fed yang makin besar pada sisi pasar tenaga kerja, serta tren revisi turun dalam data ketenagakerjaan bulanan, semuanya mendukung ekspektasi pemangkasan suku bunga.”
Dalam perkembangan politik yang juga menyita perhatian, seorang hakim federal pada Selasa (9/9) memutuskan untuk sementara menghalangi Presiden AS Donald Trump mencopot Gubernur The Fed Lisa Cook. Keputusan ini menambah dinamika di tengah fokus pasar terhadap kebijakan moneter.
Sementara itu, dua bank investasi global, Barclays dan Deutsche Bank, menaikkan target akhir tahun untuk S&P 500. Peningkatan target ini didasari oleh prospek laba korporasi yang lebih kuat, pertumbuhan ekonomi AS yang tangguh, serta optimisme berkelanjutan seputar potensi kecerdasan buatan.
Di sisi lain, saham Synopsys anjlok tajam 36 persen, mencatat penurunan harian terbesar sepanjang sejarah perusahaan. Penurunan drastis ini terjadi setelah perusahaan perangkat lunak desain chip tersebut gagal memenuhi ekspektasi pendapatan kuartalan. Rivalnya, Cadence Design Systems, juga ikut terpengaruh dengan jatuh 6,4 persen.
Volume transaksi di bursa AS pada hari itu terbilang padat, dengan total 17,2 miliar saham berpindah tangan. Angka ini lebih tinggi dibanding rata-rata 16 miliar saham dalam 20 sesi perdagangan sebelumnya, menandakan aktivitas pasar yang cukup agresif.