Dari Rich Brian hingga Jumbo, RI Berpotensi Bangun Pengaruh Global Lewat Hiburan

Indonesia tengah mengukuhkan posisinya di kancah global, bukan hanya melalui kebijakan ekonomi atau politik, melainkan juga lewat kekuatan budaya atau soft power yang lahir dari industri film, musik, dan gim. Ketiga sektor ini terbukti menjadi motor penggerak signifikan, menyumbang total Rp 1.300 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan rata-rata pertumbuhan impresif sebesar 5,76% per tahun, menggarisbawahi potensi besar Indonesia sebagai pemain kunci dalam percakapan budaya dunia.

Potensi besar ini menjadi topik sentral dalam acara Power Lunch “Membangun Percakapan Global Lewat Entertainment” yang digagas oleh GDP Venture di Jakarta, pada Rabu (8/10/2025). Diskusi mendalam tersebut mempertemukan para pemimpin industri dan pakar data, termasuk CEO GDP Venture Martin Hartono, CEO Visinema Angga Dwimas Sasongko, Co-founder Agate & CEO Confiction Labs Arief Widhiyasa, serta Chief Data Officer Lokadata.id Suwandi Ahmad, untuk membedah strategi dan peluang Indonesia di panggung hiburan global.

Menurut data komprehensif dari Lokadata, sektor ekonomi kreatif nasional menunjukkan geliat yang luar biasa, dengan kontribusi mencapai 7,8% terhadap PDB nasional dan memberdayakan lebih dari 24 juta tenaga kerja. Di antara berbagai subsektornya, film, musik, dan gim secara khusus menonjol sebagai motor utama, bertanggung jawab atas sekitar 25% dari total nilai ekonomi kreatif, menegaskan dominasi mereka dalam lanskap industri ini.

Suwandi Ahmad dari Lokadata.id menggarisbawahi perubahan peran generasi muda. “Generasi muda kini bukan hanya penikmat, tapi juga kreator dan bagian dari percakapan global,” ujarnya, menyoroti pergeseran paradigma konsumsi budaya. Data survei Lokadata lebih lanjut mengungkapkan bahwa 95% anak muda Indonesia mendengarkan musik daring setiap hari, dan 54% di antaranya menemukan lagu baru melalui media sosial, sebuah indikasi kuat akan peran krusial algoritma dalam membentuk serta menyebarkan tren budaya populer saat ini.

Menanggapi diskusi mengenai soft power, CEO GDP Venture Martin Hartono menekankan bahwa kekuatan budaya ini dapat terwujud melalui beragam bentuk, termasuk budaya dan simbol yang mendunia. “Biasanya tumbuh dari negara maju, tapi bukan berarti negara berkembang tidak bisa memilikinya. India dikenal lewat Bollywood, dan Indonesia punya potensi besar lewat kekayaan budayanya,” jelasnya, merujuk pada kekayaan narasi lokal. Dalam mewujudkan visi ini, GDP Venture melalui platform globalnya, 88rising, secara aktif berupaya membentuk identitas musik Indonesia di panggung internasional, tanpa terjebak dalam imitasi genre dominan seperti K-pop atau J-pop. Upaya kolaboratif ini telah sukses melambungkan nama-nama talenta seperti Rich Brian, NIKI, Warren Hue, serta grup vokal No Na, yang kini semakin memikat perhatian penggemar global.

Pencapaian ini bukan sekadar klaim, melainkan didukung oleh data konkret. Martin mengungkapkan, “Data kami menunjukkan penggemar No Na di Korea termasuk yang terbesar setelah Indonesia, bukti bahwa ekspresi lokal bisa diterima global.” Pernyataan ini menjadi validasi bahwa narasi dan kreativitas asli Indonesia memiliki daya tarik universal, membuka jalan bagi lebih banyak talenta lokal untuk bersinar di kancah internasional.

Beralih ke sektor film, Angga Dwimas Sasongko dari Visinema memaparkan bagaimana industri perfilman kini bertransformasi menjadi bisnis berbasis ekosistem dan Intellectual Property (IP). “Film bukan sekadar produk akhir, tapi medium untuk membangun cerita yang bisa berkembang ke bentuk lain seperti serial dan merchandise,” jelas Angga, menyoroti potensi multiplikasi nilai dari sebuah karya. Sebagai wujud nyata, Visinema saat ini tengah serius mengembangkan proyek animasi JUMBO, yang dirancang sebagai IP jangka panjang dengan inti cerita yang mengedepankan nilai-nilai keluarga universal.

Tidak kalah penting, industri gim nasional juga menunjukkan laju pertumbuhan yang stabil, memberikan kontribusi lebih dari 8,5% terhadap ekonomi kreatif. Arief Widhiyasa dari Agate menegaskan, “Gim adalah medium kolaboratif yang mempertemukan seni, teknologi, dan budaya. Ini cara baru memperkenalkan nilai Indonesia ke dunia,” menggambarkan potensi gim sebagai duta budaya. Agate, sebagai salah satu pelopor, telah sukses merilis berbagai gim yang menembus pasar global, seperti Valthirian Arc dan Code Atma. Selain itu, untuk memastikan keberlanjutan talenta, Agate juga aktif membangun ekosistem melalui pendirian Agate Academy, yang bertujuan menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) kreatif yang kompetitif di pasar global.

Dari nada-nada memikat industri musik, cerita-cerita visual film, hingga interaksi imersif gim, karya-karya anak bangsa ini secara kolektif menguatkan posisi Indonesia dalam narasi budaya global. Soft power Indonesia bukan sekadar konsep, melainkan realitas yang tumbuh dari kecakapan talenta lokal dalam mengemas nilai dan identitas nasional menjadi sebuah karya yang memiliki relevansi universal. Dengan demikian, Indonesia telah bertransformasi; tidak lagi hanya menjadi penonton, melainkan sang narator utama yang memiliki suara dan cerita otentik di panggung hiburan dunia.

Ringkasan

Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun pengaruh global melalui industri hiburan, khususnya film, musik, dan gim. Sektor ekonomi kreatif menyumbang kontribusi signifikan terhadap PDB nasional dan memberdayakan jutaan tenaga kerja. Generasi muda berperan penting sebagai kreator dan penikmat budaya, di mana media sosial dan algoritma memegang peranan krusial dalam membentuk tren populer.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mewujudkan visi ini, seperti platform global 88rising yang mempromosikan musik Indonesia di kancah internasional. Industri film juga bertransformasi dengan pengembangan Intellectual Property (IP) jangka panjang. Industri gim juga tak kalah pentingnya, yang dipandang sebagai media kolaboratif yang memperkenalkan nilai Indonesia ke dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *