Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah diketahui tengah mematangkan pembahasan substansi perubahan Undang-Undang (UU) No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Amandemen beleid ini berpotensi membawa dampak signifikan terhadap pengawasan institusi keuangan di Indonesia.
Salah satu poin krusial dalam rencana perubahan UU PPSK adalah penambahan hasil evaluasi DPR sebagai pertimbangan pemberhentian Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI). Sebelumnya, Dewan Gubernur BI dapat diberhentikan karena pengunduran diri, berhalangan tetap, tindak kejahatan, atau ketidakhadiran fisik. Kini, usulan perubahan draf undang-undang tersebut mencakup satu poin tambahan, yakni “Hasil evaluasi DPR dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap Dewan Gubernur.”
Secara garis besar, inti dari perubahan UU PPSK adalah penguatan peran pengawasan DPR terhadap tiga lembaga sentral di sektor keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perubahan ini diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan sektor keuangan nasional.
Tak hanya BI, penguatan pengawasan DPR juga menyasar LPS. Pada bagian angka 43, terjadi perubahan substansi Pasal 69 yang mengatur mekanisme pemberhentian anggota Dewan Komisioner LPS. Aturan sebelumnya memuat sejumlah alasan pemberhentian seperti berhalangan tetap, masa jabatan berakhir, mengundurkan diri, tidak menjalankan tugas lebih dari 6 bulan, adanya hubungan keluarga antar dewan komisioner, dan tidak memenuhi syarat. Dalam draf amandemen terbaru yang tercatat per 8 September 2025, ditambahkan satu poin penting, yaitu hasil evaluasi dari DPR, yang menjadi salah satu pertimbangan presiden untuk memberhentikan anggota Dewan Komisioner LPS (Pasal 69 ayat 1 huruf h).
Selain perubahan terkait pemberhentian, penguatan peran DPR juga terlihat pada bagian angka 57, khususnya Pasal 86. Pasal ini sebelumnya mengatur bahwa Ketua Dewan Komisioner LPS menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada Menteri Keuangan. Namun, dalam usulan beleid yang baru, proses penyampaian tersebut akan dialihkan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan paling lambat 30 November tahun berjalan. Lebih lanjut, Pasal 97 juga mengamanatkan Ketua Dewan Komisioner LPS untuk menyampaikan rencana kerja dan anggaran kepada presiden dan DPR, bukan lagi hanya kepada Menteri Keuangan.
Draf perubahan UU PPSK ini juga secara tegas menyatakan bahwa DPR, dalam menjalankan fungsi pengawasannya, dapat melakukan evaluasi berkala terhadap Dewan Komisioner LPS, Dewan Komisioner OJK, dan Dewan Gubernur BI. Poin krusial lainnya adalah hasil rekomendasi dari evaluasi tersebut akan bersifat mengikat, memberikan legitimasi dan kekuatan hukum yang lebih besar pada fungsi pengawasan legislatif.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fauzi Amro, tidak menampik adanya proses amandemen beleid ini. Ia hanya memastikan bahwa pembahasan masih terus berlangsung. “Belum final, lagi proses pembahasan,” ujarnya, mengindikasikan bahwa draf ini masih dalam tahap penyempurnaan sebelum dapat disahkan menjadi undang-undang.
Ringkasan
DPR dan pemerintah sedang mematangkan perubahan UU PPSK yang berpotensi mengubah pengawasan lembaga keuangan, termasuk Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perubahan signifikan terletak pada penambahan hasil evaluasi DPR sebagai pertimbangan pemberhentian Dewan Gubernur BI dan anggota Dewan Komisioner LPS, selain alasan-alasan yang sudah ada.
Selain pemberhentian, penguatan peran DPR juga terlihat pada proses persetujuan rencana kerja dan anggaran LPS yang dialihkan dari Menteri Keuangan ke DPR. Evaluasi berkala DPR terhadap BI, OJK, dan LPS juga akan bersifat mengikat, memperkuat fungsi pengawasan legislatif di sektor keuangan. Pembahasan amandemen ini masih berlangsung di DPR.