NEW YORK. Harga minyak dunia mencatat pelemahan signifikan pada Kamis (11/9/2025), terkoreksi sekitar 2%. Kekhawatiran yang kian mendalam mengenai kelebihan pasokan global dan potensi penurunan permintaan dari Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu utama. Sentimen bearish ini bahkan membayangi risiko gangguan produksi yang muncul dari konflik di Timur Tengah serta perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung.
Kontrak berjangka minyak mentah Brent, patokan global, ambles US$1,12 atau 1,7% menjadi US$66,37 per barel. Tak jauh berbeda, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga tergelincir US$1,30 atau 2,0% menjadi US$62,37 per barel, mencerminkan sentimen negatif yang merata di pasar komoditas energi.
Penurunan harga minyak ini diperparah oleh laporan bulanan Badan Energi Internasional (IEA) yang memperingatkan adanya potensi peningkatan pasokan minyak global tahun ini yang lebih cepat dari perkiraan. Hal ini sejalan dengan rencana OPEC+ dan sekutunya, termasuk Rusia, untuk menggenjot produksi.
Harga Minyak Dunia Turun 3% di Tengah Isu Kenaikan Produksi OPEC+
“Harga minyak terkoreksi sebagai respons langsung atas laporan IEA yang bernada bearish, mengindikasikan surplus pasokan yang substansial pada tahun depan,” jelas Carsten Fritsch, seorang analis dari Commerzbank. Meskipun OPEC+ sebelumnya sepakat untuk mulai meningkatkan produksi pada Oktober, organisasi tersebut secara terpisah tetap mempertahankan proyeksi pasokan dan permintaan non-OPEC tahun ini, beralasan stabilitas permintaan global.
Pasar Terbelah
Situasi pasar minyak saat ini digambarkan berada di tengah tarik-menarik persepsi yang intens. Tamas Varga, analis PVM Oil Associates, mengamati adanya kontradiksi antara potensi kekurangan pasokan akibat eskalasi konflik geopolitik dan realitas kelebihan pasokan yang diakibatkan oleh peningkatan produksi serta membengkaknya stok global.
Di sisi lain, peningkatan ekspor minyak mentah Arab Saudi ke China juga menjadi sorotan. Diperkirakan ekspor akan melonjak pada Oktober, dengan data perdagangan menunjukkan Aramco siap mengirimkan 1,65 juta barel per hari, naik signifikan dari 1,43 juta barel per hari pada September. Namun, Giovanni Staunovo, analis UBS, mempertanyakan keberlanjutan kapasitas China untuk menyerap pasokan besar tersebut dan menjaga tingkat stok di negara-negara OECD tetap rendah.
Sementara itu, investor juga mencermati potensi risiko sanksi baru yang dapat menekan ekspor minyak Rusia. Harga Minyak Dunia Turun Kamis (19/6) Pagi, Tunggu Keputusan AS soal Iran-Israel. Laporan IEA menunjukkan bahwa pendapatan Rusia dari ekspor minyak mentah dan produknya anjlok tajam pada Agustus, mencapai salah satu level terendah sejak dimulainya perang di Ukraina. Upaya global untuk membatasi perdagangan energi Rusia terus didiskusikan secara intensif. Menteri Energi AS Chris Wright dan Komisaris Eropa untuk Energi Dan Jorgensen baru-baru ini bertemu di Brussels, di mana Jorgensen menekankan pentingnya mempercepat proses meski target Uni Eropa sangat ambisius.
Perkembangan lain datang dari India, di mana Adani Group, operator pelabuhan swasta terbesar di negara itu, memberlakukan larangan masuk bagi kapal tanker yang terkena sanksi Barat. Kebijakan ini berpotensi signifikan mengganggu pasokan minyak Rusia ke dua kilang utama India.
Dari aspek makroekonomi, inflasi konsumen AS pada Agustus tercatat mengalami kenaikan tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, didorong oleh peningkatan biaya perumahan dan pangan. Harga Minyak Dunia Turun Hampir 2% Jumat (23/5), Trump Usulkan Tarif 50% ke Uni Eropa. Lonjakan klaim tunjangan pengangguran pada pekan lalu juga memicu ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve kemungkinan akan memangkas suku bunga pada Rabu depan. Langkah ini diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan, secara tidak langsung, mendorong peningkatan permintaan minyak.
Di Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) pada Kamis memutuskan untuk menahan suku bunga, sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, ketidakpastian masih menyelimuti prospek kebijakan moneter di kawasan tersebut, dengan para pelaku pasar menggambarkan peluang pemangkasan suku bunga berikutnya di Eropa sebagai “lemparan koin”.