Harga Minyak Mentah Terkoreksi, OPEC+ dan Geopolitik Masih Menopang Pasar

Scoot.co.id – JAKARTA. Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kembali menunjukkan performa yang kuat, menembus level US$61 per barel pada Jumat (24/10/2025) dan mendekati titik tertinggi dalam dua pekan terakhir. Kenaikan signifikan ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap pasokan global setelah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru yang menargetkan produsen-produsen besar dari Rusia.

Meskipun demikian, pada perdagangan Jumat (24/10) pukul 14.30 WIB, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) mengalami koreksi tipis sekitar 0,31%–0,33%, bergerak ke kisaran US$61,7 per barel berdasarkan data Trading Economics. Kendati melemah di penghujung pekan, harga WTI berhasil mencatatkan kenaikan impresif sekitar 7,7% dalam sepekan, menandakan momentum penguatan yang solid masih terjaga.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, menjelaskan bahwa pelemahan sesaat ini merupakan fenomena yang wajar dan dapat diartikan sebagai koreksi teknikal setelah reli tajam yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. “Penurunan tipis harga minyak WTI mencerminkan koreksi teknikal setelah reli tajam sebelumnya,” ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, Jumat (24/10).

Melihat Prospek Emiten yang Mulai Beli Patriot Bond

Ia lebih lanjut menyoroti bahwa lonjakan harga mingguan utamanya didorong oleh sanksi baru Amerika Serikat terhadap Rosneft dan Lukoil, dua raksasa energi Rusia yang bertanggung jawab atas hampir separuh ekspor minyak negara tersebut. Kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan secara signifikan memicu kenaikan harga. Kendati demikian, aksi ambil untung (profit-taking) di akhir pekan sempat memberikan tekanan intraday, menyebabkan pelemahan sementara.

Untuk prospek hingga akhir tahun, Sutopo menilai sentimen pasar minyak masih akan bercampur. Di satu sisi, sanksi terhadap Rusia serta potensi pengurangan impor minyak oleh Tiongkok dan India berpotensi menahan pasokan dan menjaga harga tetap tinggi. Namun, di sisi lain, kekhawatiran akan kelebihan suplai global dari OPEC+ serta proyeksi surplus pada tahun depan dapat membatasi laju kenaikan harga. “Prospek harga masih volatil, tapi selama OPEC+ menjaga pasokan dan ketegangan geopolitik belum mereda, harga cenderung bertahan di atas US$60 per barel,” jelas Sutopo. Ia juga menambahkan, struktur pasar minyak saat ini yang menunjukkan pola contango mengindikasikan bahwa pelaku pasar masih mengantisipasi potensi kelebihan pasokan di bulan-bulan mendatang.

Sementara itu, Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, memberikan perspektif lain mengenai pelemahan WTI di akhir pekan. Menurutnya, penurunan tersebut lebih disebabkan oleh aksi ambil untung yang wajar setelah kenaikan tajam serta penguatan dolar AS menjelang rilis data inflasi Amerika Serikat. “Penurunan harga WTI sebagian besar merupakan aksi ambil untung setelah kenaikan tajam sehari sebelumnya,” kata Nanang.

Ia menjelaskan bahwa penguatan dolar AS secara inheren membuat harga komoditas yang berbasis dolar, termasuk minyak, cenderung terkoreksi. Selain itu, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global—khususnya di Eropa dan Tiongkok—juga menimbulkan potensi pelemahan permintaan minyak (demand destruction), yang dapat menekan harga.

Meskipun demikian, Nanang menilai faktor pasokan masih menjadi penopang utama harga. Keputusan OPEC+ untuk menjaga pembatasan produksi serta meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah dan Rusia diperkirakan dapat menahan harga agar tidak turun lebih dalam. Secara teknikal, ia mengamati bahwa harga WTI kini berada dalam fase konsolidasi setelah koreksi dari puncak sekitar US$80 per barel pada awal Juni 2025. Indikator momentum menunjukkan adanya awal pembentukan tren positif, meskipun belum kuat. Level resistance terdekat berada di US$63,8–66,6, sementara level support utama yang perlu diperhatikan adalah US$56,6–60 per barel.

Nanang memperkirakan pergerakan harga minyak masih akan bersifat sideways dengan kecenderungan bullish terbatas menjelang akhir tahun. Ia menilai, jika OPEC+ mempertahankan produksi yang ketat dan risiko geopolitik semakin meningkat, harga berpotensi menembus resistance di kisaran US$66 per barel.

Secara keseluruhan, kedua analis tersebut memperkirakan harga minyak WTI hingga akhir tahun 2025 akan bergerak dalam rentang US$58–66 per barel, dengan titik tengah di kisaran US$62–63 per barel. Sutopo menekankan dinamika geopolitik, kebijakan OPEC+, dan struktur pasar contango sebagai faktor utama penggerak harga. Sementara itu, Nanang menegaskan bahwa pergerakan harga minyak jangka menengah masih sangat bergantung pada arah permintaan global dan sikap The Fed terhadap kebijakan suku bunga.

Penjualan SBN Ritel Capai Rp 137,7 Triliun hingga Oktober 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *