Scoot.co.id – JAKARTA. Dunia pasar modal Indonesia tengah dihebohkan dengan partisipasi sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam pembelian Patriot Bond yang diterbitkan oleh Danantara. PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) menjadi sorotan utama sebagai pembeli pertama surat utang jangka panjang ini, dengan nilai investasi fantastis mencapai Rp 500 miliar. Langkah ini menandai komitmen signifikan dari salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia.
Sekretaris Perusahaan HMSP, Andry Revianto, menjelaskan bahwa perseroan telah melakukan investasi surat utang jangka panjang ini melalui penawaran terbatas (private placement) yang diselenggarakan oleh PT Danantara Investment Management Tahun 2025 tahap I. Pembelian Patriot Bond tersebut terbagi dalam dua seri. Untuk Seri A, HMSP mengalokasikan Rp 250 miliar dengan bunga 2% per tahun dan jatuh tempo pada 22 Oktober 2030. Sementara itu, Seri B juga senilai Rp 250 miliar, menawarkan bunga 2% per tahun, namun dengan periode jatuh tempo yang lebih panjang, yaitu hingga 21 Oktober 2032.
Andry menambahkan bahwa total nilai investasi ini setara dengan 1,76% dari ekuitas perseroan, berdasarkan laporan keuangan tahunan HMSP yang diaudit per 31 Desember 2024. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa investasi ini tidak akan memberikan dampak material terhadap kondisi keuangan maupun kelangsungan usaha HMSP. Sebaliknya, partisipasi ini justru menyoroti komitmen perusahaan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan program pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan, mencerminkan visi jangka panjang yang melampaui sekadar keuntungan finansial.
Sebagai informasi, Patriot Bond memang ditawarkan secara terbatas dengan karakteristik kupon yang cenderung rendah, yakni 2%, dan tenor antara 5 hingga 7 tahun. Angka kupon ini jauh lebih kecil dibandingkan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun yang biasanya berkisar 6,01%. Meski demikian, respons pasar modal terhadap penawaran ini sungguh luar biasa. Awalnya ditargetkan mengumpulkan Rp 50 triliun dalam dua tahap, Patriot Bond justru mengalami oversubscribe atau kelebihan permintaan, mencapai Rp 51,75 triliun. Pada 19 September 2025, daftar 46 konglomerat yang berpartisipasi dalam surat utang ini sempat beredar, dan Grup Sampoerna termasuk dalam daftar prestisius tersebut.
Para pengamat pasar modal sepakat bahwa motivasi di balik partisipasi konglomerat dalam Patriot Bond ini tidak semata-mata mencari imbal hasil finansial. Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa investasi ini lebih merupakan bentuk upaya dan kontribusi nyata para konglomerat untuk mendukung pemerintah Indonesia, khususnya dalam pendanaan pembangunan. Selisih bunga sekitar 3%-4% dibandingkan obligasi pasar dinilai tidak menjadi masalah besar, terutama bagi perusahaan yang memiliki “dana dingin” atau kas yang melimpah. Budi melihat efek positifnya adalah pengakuan sebagai mitra strategis pemerintah, yang berpotensi memicu dukungan timbal balik dalam melindungi bisnis mereka.
Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, menambahkan bahwa nilai investasi Rp 500 miliar terbilang kecil jika dibandingkan dengan total ekuitas HMSP yang mencapai Rp 23,98 triliun per kuartal II 2025. “Secara finansial tidak material,” ujarnya. Senada, Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan, mengamati bahwa dampak pembelian Patriot Bond telah diperhitungkan matang oleh masing-masing emiten, terutama terhadap likuiditas dan arus kas. HMSP, misalnya, memiliki ekuitas yang tinggi, fasilitas perbankan yang besar, serta dukungan pendanaan dan pinjaman dari afiliasinya, Philip Morris. Sektor industri rokok Tanah Air sendiri baru-baru ini mendapat sentimen positif dari kepastian tidak naiknya tarif cukai rokok di tahun depan, yang semakin memperkuat posisi finansial emiten seperti HMSP. Meski demikian, Marolop tidak menampik adanya risiko opportunity lost, yaitu hilangnya kesempatan memperoleh return yang lebih tinggi jika dana tersebut dialokasikan pada instrumen lain.
Oktavianus Audi, VP Equity Retail Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, melihat aksi HMSP sebagai investasi reputasi ketimbang investasi keuangan murni. Ia mengemukakan beberapa perspektif motivasi. Pertama, sebagai “membership ticket” untuk mengakses proyek-proyek strategis pemerintah. Kedua, bentuk sinergi emiten dalam pembangunan proyek besar, termasuk partisipasi dalam energi baru terbarukan (EBT) seperti proyek waste-to-energy. Ketiga, manifestasi tanggung jawab sosial, di mana perusahaan tidak hanya berorientasi profit tetapi juga memperkuat tema ESG (Environmental, Social, and Governance) atau kemitraan pembangunan nasional. Audi menyoroti bahwa jika mengacu pada yield obligasi korporasi dan pemerintah di kisaran 5%-6%, investasi Rp 500 miliar seharusnya bisa menghasilkan imbal hasil Rp 30 miliar per tahun, namun Patriot Bond hanya memberikan Rp 10 miliar. Hal ini menciptakan risiko real return negatif seiring dengan inflasi Indonesia sebesar 3%-5% per tahun, dan pasar mungkin melihat aksi ini lebih sebagai simbolik daripada keputusan bisnis yang cerdas (business savvy).
Teguh Hidayat, Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama, juga menekankan adanya dampak lain di luar imbal hasil investasi. Hal ini bisa berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap industri masing-masing konglomerasi. “Ini juga bentuknya investasi, jadi uangnya tidak hilang, sehingga bukan cost. Namun memang, return-nya kalah dengan tingkat inflasi Indonesia,” ujarnya.
Melihat dampak terhadap kinerja saham, para analis memiliki pandangan beragam. Rully Arya Wisnubroto merekomendasikan emiten–emiten di Grup Barito, Adaro, Sinarmas, dan saham lain yang berorientasi ESG akan menarik ke depan, termasuk ADRO dan BRPT. Namun, Marolop Alfred Nainggolan berpendapat bahwa pembelian obligasi ini tidak memberikan katalis khusus terhadap pergerakan harga saham. Meskipun sempat beredar rumor tentang unsur paksaan dalam pembelian Patriot Bond, hal tersebut sejauh ini tidak menimbulkan sentimen negatif. Hampir semua emiten konglomerasi masuk dalam daftar pembeli, sehingga tidak ada pembeda yang signifikan di pasar modal.
Budi Frensidy juga melihat belum ada korelasi signifikan antara pembelian Patriot Bond terhadap kinerja saham. Jika ada efeknya, kemungkinan tidak signifikan karena kapitalisasi korporasi-korporasi ini sangat besar. Teguh Hidayat, di sisi lain, percaya bahwa partisipasi Sampoerna dalam Patriot Bond bisa memberikan dampak positif, meskipun dalam jangka panjang. Hal ini juga terkait dengan absennya kenaikan cukai rokok di tahun depan, meskipun daya beli masyarakat masih cenderung lemah. “Dengan adanya Patriot Bond, diharapkan industri para konglomerasi dalam daftar itu bisa mendapat stimulus dari pemerintah,” ungkap Teguh, yang kemudian menyematkan rekomendasi hold untuk HMSP dengan target harga Rp 1.000 – Rp 1.200 per saham dalam 1-2 tahun ke depan.
Lebih lanjut, Oktavianus Audi menilai bahwa konglomerasi yang terlibat dalam Patriot Bond masih prospektif dengan beberapa kondisi. Pertama, emiten tersebut memiliki profil besar, likuiditas bagus, reputasi kuat, dan bisnis inti yang sejalan dengan proyek nasional atau transisi energi. Kedua, emiten tersebut bergerak di industri yang diuntungkan oleh perubahan regulasi yang sedang didorong, seperti EBT. Berdasarkan kriteria ini, konglomerasi seperti Barito Pacific, Sinar Mas dan Golden Agri, serta Adaro dan Alamtri sebagai pembeli menjadi sangat menarik. Mereka memiliki keterkaitan bisnis yang kuat dengan tema transisi ESG dan kapasitas finansial yang memadai. Dalam jangka menengah, partisipasi ini bisa berdampak positif pada kinerja bisnis maupun persepsi pasar. Audi merekomendasikan hold untuk HMSP dengan target harga Rp 885 per saham. Sementara itu, rekomendasi trading buy disematkan untuk BRPT dan AADI, dengan target harga masing-masing Rp 4.200 per saham dan Rp 8.500 per saham.