Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bergerak cepat meluruskan informasi yang beredar luas mengenai wacana kebijakan balik nama tanda kepemilikan ponsel (HP). Kominfo dengan tegas menyatakan bahwa gagasan ini tidak akan bersifat wajib, apalagi disamakan dengan proses balik nama kendaraan bermotor yang mengharuskan adanya Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Sebaliknya, jika jadi diterapkan, skema ini justru akan bersifat sukarela, ditujukan bagi masyarakat yang menginginkan lapisan perlindungan ekstra untuk perangkat selulernya.
Dirjen Infrastruktur Digital Kominfo, Wayan Toni, dalam keterangan persnya pada Sabtu (4/10), secara gamblang mengklarifikasi, “Tidak benar, jika seolah-olah Kementerian Komdigi akan mewajibkan setiap ponsel memiliki tanda kepemilikan, seperti Buku Pemilik Kendaraan Bermotor atau BPKB motor.” Ia menegaskan kembali bahwa inisiatif ini murni opsional, memberikan pilihan bagi pemilik ponsel yang ingin mendapatkan perlindungan lebih jika perangkat mereka hilang atau dicuri.
Lebih lanjut, Wayan Toni menjelaskan fungsi vital dari International Mobile Equipment Identity atau IMEI. Sebagai identitas perangkat resmi yang telah terdaftar dalam sistem pemerintah, IMEI memainkan peran krusial dalam ekosistem digital. Dengan sistem ini, gawai yang terindikasi hasil tindak pidana, seperti pencurian, dapat segera diblokir, secara efektif menghilangkan nilai ekonomisnya bagi pelaku kejahatan. Di sisi lain, hal ini memberikan rasa aman dan nyaman bagi konsumen yang membeli gadget resmi.
Manfaat IMEI sendiri tidak hanya terbatas pada penangkal pencurian. Sistem ini juga berfungsi untuk mencegah peredaran HP ilegal atau black market, melindungi konsumen dari potensi penipuan, serta memastikan kualitas dan garansi resmi produk. Secara keseluruhan, keberadaan IMEI turut membantu aparat penegak hukum dalam mengurangi angka tindak kriminal pencurian ponsel. “Kalau HP hilang atau dicuri, perangkat bisa dilaporkan dan diblokir. Kalau ditemukan kembali, bisa diaktifkan lagi. Jadi ini bukan beban baru, melainkan perlindungan tambahan untuk masyarakat,” tambah Wayan, menekankan bahwa kebijakan ini adalah bentuk proteksi, bukan regulasi yang memberatkan.
Meskipun demikian, Wayan menjelaskan bahwa wacana balik nama kepemilikan HP tersebut masih berada dalam tahap awal pengumpulan masukan dari berbagai pihak, dan belum dibahas pada level pimpinan kementerian. Konsep ini pertama kali disampaikan oleh Direktur Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit, dan Standardisasi Infrastruktur Digital Komdigi, Adis Alifiawan, dalam sebuah forum diskusi akademik di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tujuan forum tersebut adalah untuk menjaring perspektif dari para akademisi, praktisi, dan masyarakat luas sebelum keputusan lebih lanjut diambil.
Wacana kebijakan ini bermula dari pengamatan Adis Alifiawan yang sebelumnya, pada Senin (29/9), menyoroti bahwa praktik jual beli ponsel bekas seringkali menjadi titik rawan penyalahgunaan, terutama terkait dengan perangkat hasil curian. Oleh karena itu, pemerintah melihat perlunya mekanisme yang lebih transparan untuk memastikan identitas pemilik dan riwayat perangkat ponsel bekas menjadi lebih jelas dan terdata.
Adis menegaskan perlunya sistem yang lebih baik dengan analogi yang mudah dipahami. “HP bekas ke depannya diharapkan punya mekanisme jelas, seperti jual beli motor, yakni ada balik nama dan identitas agar menghindari penyalahgunaan,” ujarnya dalam diskusi publik yang dikutip dari akun YouTube Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. Meski demikian, Kementerian Kominfo belum memerinci mekanisme pasti dari proses balik nama HP bekas ini, karena keseluruhan kebijakan masih dalam tahap pengkajian mendalam.
Dalam upaya merumuskan kebijakan yang komprehensif dan berimbang, Kominfo secara aktif melibatkan berbagai pihak. Mereka telah mengajak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk memberikan masukan. Adis Alifiawan menekankan pentingnya menemukan titik tengah yang seimbang antara kenyamanan dan keamanan konsumen dalam penerapan kebijakan ini, memastikan bahwa tujuan utamanya adalah melindungi masyarakat serta menjaga keamanan ekosistem digital Indonesia, tanpa menambah beban birokrasi yang memberatkan.