Resesi 2025? BI Waspadai Tarif AS, Ekonomi Dunia Terancam Melambat

JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan signifikan pada tahun 2025, bergerak di bawah level 3 persen. Revisi proyeksi ini didorong oleh dampak meluasnya kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang kini mencakup lebih banyak negara, menciptakan dinamika ekonomi yang beragam di seluruh dunia.

Perubahan proyeksi ini disampaikan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya. Ia menjelaskan bahwa jajaran Dewan Gubernur BI telah melakukan penyesuaian atas perkiraan sebelumnya setelah mencermati perluasan kebijakan tarif AS. Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2025, tarif tersebut baru diberlakukan untuk 44 negara. Namun, data terbaru yang masuk pada RDG Agustus 2025 menunjukkan perluasan signifikan menjadi 70 negara, yang berpotensi memberikan efek besar bagi sebagian negara terdampak.

“Pesan utama dari kondisi global adalah bahwa ada banyak dinamika yang terjadi, terutama yang terkait dengan tarif,” ungkap Juli dalam acara Pelatihan Wartawan Bank Indonesia Kuartal III 2025 di Yogyakarta. Juli menambahkan bahwa kondisi ini menimbulkan perbedaan perlakuan antarnegara; ada yang dikenai tarif lebih tinggi, dan ada pula yang lebih rendah.

Beberapa negara utama menghadapi kenaikan tarif yang substansial. India, misalnya, yang semula dikenai tarif 25 persen, melonjak dua kali lipat menjadi 50 persen. Demikian pula Swiss, yang tarifnya meningkat dari 31 persen menjadi 39 persen. Negara-negara ini, menurut Juli, adalah yang paling merasakan dampak kenaikan tarif dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Kendati demikian, sejumlah negara lain justru merasakan penurunan tarif resiprokal AS. Indonesia, melalui proses negosiasi yang efektif, berhasil menurunkan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen. Negara-negara utama di Eropa juga mengalami penurunan signifikan dari 50 persen menjadi 15 persen. Bahkan, China mendapatkan keringanan tarif yang cukup drastis, dari semula 145 persen menjadi 41 persen.

“Jadi berbeda antarnegera. Tapi secara umum, perkembangan tarif ini menimbulkan risiko bahwa ekonomi dunia akan lebih lemah dari yang kita perkirakan,” tegas Juli. Dengan demikian, BI juga telah merevisi proyeksi ekonomi untuk beberapa negara. AS, misalnya, diperkirakan tumbuh melambat dari 2,1 persen menjadi 2 persen. Begitu pula India, yang pertumbuhan ekonominya diproyeksikan turun dari 6,6 persen menjadi 6,5 persen.

Di sisi lain, negara-negara yang tarifnya lebih rendah, didukung oleh data ekonomi terkini yang kuat, diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dari proyeksi BI sebelumnya. Eropa kini diperkirakan tumbuh 1 persen, naik dari 0,9 persen. China juga menunjukkan kenaikan proyeksi dari 4,3 persen menjadi 4,6 persen, sementara Jepang diperkirakan akan mencapai 1 persen dari 0,8 persen.

Keseluruhan analisis ini menyimpulkan bahwa ekonomi dunia dengan perkembangan terkini berpotensi lebih lemah dari perkiraan awal BI yang berada di angka 3 persen. Hal ini juga ditegaskan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam RDG Agustus 2025 sebelumnya.

Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa perekonomian dunia melemah sejalan dengan semakin meluasnya implementasi tarif resiprokal AS. Sejak 7 Agustus 2025, tarif tersebut telah diperluas dari 44 menjadi 70 negara, dengan beberapa di antaranya seperti India dan Swiss, dikenai tarif yang lebih tinggi. “Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sekitar 3 persen,” ungkap Perry.

Sebagai dampaknya, kondisi pertumbuhan ekonomi global yang melambat ini juga mempengaruhi arah kebijakan moneter. BI menilai Fed Funds Rate (FFR) nantinya bakal mengalami penurunan sebanyak dua kali pada semester II 2025, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps), dengan probabilitas yang semakin tinggi. Ini mencerminkan respons bank sentral global terhadap risiko perlambatan ekonomi yang semakin nyata.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan perlambatan signifikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025, di bawah 3 persen, terutama disebabkan oleh perluasan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke lebih banyak negara. Perubahan ini memicu dinamika ekonomi yang beragam, dengan beberapa negara seperti India dan Swiss menghadapi kenaikan tarif substansial, sementara negara lain seperti Indonesia, Eropa, dan China mengalami penurunan tarif.

Kondisi global ini menimbulkan risiko pelemahan ekonomi dunia dari perkiraan awal BI. Sebagai dampaknya, BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk beberapa negara dan memperkirakan adanya penurunan Fed Funds Rate (FFR) sebanyak dua kali pada semester II 2025. Perkembangan ini menunjukkan respons terhadap risiko perlambatan ekonomi yang semakin nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *