Saham Bank Danantara Anjlok: Kebijakan Negara Jadi Biang Kerok?

Scoot.co.id, JAKARTA. Kinerja saham bank BUMN, atau yang sering disebut saham bank Danantara, menunjukkan tren yang melemah dan tak berdaya. Ironisnya, serangkaian kebijakan pemerintah yang digadang-gadang mampu mendongkrak fundamental perbankan justru belum berhasil membalikkan arah pelemahan ini dalam sebulan terakhir.

Berbagai kebijakan penting telah digulirkan untuk menyokong bank-bank milik negara. Sebut saja injeksi tambahan likuiditas senilai Rp 200 triliun, program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan, hingga wacana terbaru mengenai kenaikan bunga deposito valas menjadi 4%.

Namun, harapan akan penguatan saham bank pelat merah nampak jauh panggang dari api. Sebaliknya, saham-saham tersebut justru semakin tertekan. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menjadi yang paling terpukul, mencatat koreksi terdalam sebesar 22,46% secara year-to-date, menempatkan harganya di Rp 4.420 per saham. Bahkan, dalam sebulan terakhir saja, BMRI sudah melorot 10,71%.

Kondisi ini diperparah dengan eksodus investor asing yang masih terlihat masif dari mayoritas saham bank Danantara. BMRI kembali menanggung beban terbesar, dengan total jual bersih investor asing mencapai Rp 16,76 triliun sejak awal tahun, di mana Rp 4,3 triliun di antaranya terjadi dalam sebulan terakhir.

Pelemahan ini juga merembet ke PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Sejak awal tahun, saham BBNI telah turun 3,91% menjadi Rp 4.180 per saham. Mirip dengan BMRI, investor asing pun mencatatkan jual bersih yang signifikan senilai Rp 4,14 triliun dari saham ini.

Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan penurunan yang relatif lebih moderat, yakni 0,98% sepanjang tahun 2025, menempatkan harganya di Rp 4.040. Berbeda dengan dua bank lainnya, BBRI justru mulai diminati kembali oleh investor asing, terbukti dengan catatan net buy senilai Rp 1,04 triliun sejak awal tahun.

Beban Tugas Pemerintah Menekan Kinerja Saham Bank BUMN

Menanggapi fenomena ini, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nicodemus, menjelaskan bahwa kinerja sektor perbankan, terutama bank-bank Danantara, sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi makro. Ia menyoroti sentimen negatif yang muncul akibat pergantian Menteri Keuangan, yang menimbulkan keraguan di kalangan investor asing terhadap kebijakan fiskal baru, khususnya terkait disiplin anggaran dan implementasinya.

Nicodemus mengambil contoh kebijakan pemindahan likuiditas senilai Rp 200 triliun ke bank-bank pelat merah. Meski memiliki tujuan positif, ia menilai realisasinya justru memicu keraguan. Suntikan dana semata, menurutnya, belum tentu efektif mendorong pertumbuhan kredit secara berkelanjutan. “Dikhawatirkan akan mendorong penyaluran tingkat kredit namun dengan mengorbankan kualitas aset. Inilah yang menjadi perhatian utama pelaku pasar dan investor,” tegas Nico.

Oleh karena itu, para investor saat ini cenderung bersikap wait and see, menanti bukti implementasi kebijakan serta menantikan rilis kinerja perbankan pada kuartal III/2025. Senada, VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menambahkan bahwa tambahan likuiditas dari pemerintah justru memicu kekhawatiran akan kualitas penyaluran kredit, mendorong kehati-hatian investor.

Danantara Diisukan Bakal Akuisisi Saham Bank Syariah Indonesia (BRIS) dari Bank BUMN

Audi melanjutkan, “Pasar melihat ini sebagai modal kerja bersifat sementara dengan imbal hasil rendah, sehingga dampak profit bank jangka panjang dinilai tetap terbatas.” Ia juga melihat adanya risiko terkait kebijakan fiskal atau kelembagaan, yang menimbulkan pertanyaan mengenai alokasi dana, transparansi, serta potensi intervensi politik. Selain itu, wacana kenaikan suku bunga deposito valas juga disoroti karena berpotensi menekan margin keuntungan dari cost of fund dalam jangka pendek hingga menengah.

Namun, pandangan sedikit berbeda disampaikan oleh Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta. Ia mengakui bahwa kenaikan bunga deposito valas memang akan menambah beban biaya bagi bank, namun ia optimistis bahwa dampaknya tidak akan terlalu signifikan. “Fundamental perbankan masih solid,” ujar Nafan meyakinkan.

Rekomendasi Saham Perbankan di Tengah Ketidakpastian

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, Oktavianus Audi dari Kiwoom Sekuritas Indonesia tetap melihat potensi kebangkitan bagi saham-saham bank Danantara. Ia secara spesifik merekomendasikan BMRI dengan target harga Rp 5.600, diikuti BBNI dengan target harga Rp 5.000, dan BBRI di harga Rp 4.250.

Potensi kebangkitan ini, menurut Audi, akan terwujud seiring dengan dimulainya era suku bunga rendah, di mana baik Bank Indonesia maupun The Fed diperkirakan akan secara konsisten menurunkan suku bunga acuan mereka. “Dengan catatan bahwa kebijakan tersebut mampu menciptakan efek multiplikatif pada likuiditas dan menekan cost of fund, sehingga margin bunga bank cenderung membaik,” jelasnya.

Namun, Maximilianus Nicodemus dari Pilarmas Investindo Sekuritas memiliki pandangan yang berbeda dan lebih konservatif. Ia belum merekomendasikan untuk masuk ke saham-saham bank milik negara saat ini. Sebaliknya, Nico lebih memilih big banks lainnya seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), yang saat ini diperdagangkan di harga Rp 7.625. “BBCA saja kalau untuk big banks, kalau yang lain saya khawatir karena ada beban juga (bagi bank negara),” pungkas Nico, mengindikasikan keengganannya terhadap saham-saham BUMN.

Dana Jumbo Rp 200 Triliun Masuk Bank BUMN, Begini Dampaknya ke Pasar Saham

Ringkasan

Kinerja saham bank BUMN (Bank Danantara) mengalami pelemahan meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pendukung seperti injeksi likuiditas Rp 200 triliun dan program KUR Perumahan. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) paling terpukul dengan koreksi terdalam, diikuti oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), sementara PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan penurunan yang lebih moderat dan mulai diminati investor asing.

Pelemahan ini dikaitkan dengan kekhawatiran investor terhadap efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan kredit berkelanjutan tanpa mengorbankan kualitas aset, serta kekhawatiran terkait kebijakan fiskal dan potensi intervensi politik. Analis merekomendasikan saham BMRI, BBNI dan BBRI dengan target harga masing-masing, namun ada pula yang merekomendasikan saham bank swasta seperti BBCA karena kekhawatiran terhadap beban yang ditanggung bank-bank BUMN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *