Scoot.co.id , JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (ATH), sebuah pencapaian yang mengejutkan. Namun, euforia tersebut diselimuti oleh fakta bahwa lonjakan ini justru didorong oleh performa saham-saham lapis kedua dan konglomerat, sementara emiten dengan fundamental yang kokoh dan dikenal luas justru tertinggal di belakang. Menyikapi fenomena ini, JP Morgan memproyeksikan bahwa saham-saham lapis utama baru akan menunjukkan tanda-tanda rebound pada tahun 2026 mendatang.
Head of Indonesia Research and Strategy JP Morgan, Henry Wibowo, menyoroti adanya kesenjangan pertumbuhan yang mencolok antara IHSG, LQ45, dan MSCI Indonesia, yang mencapai rentang 10% hingga 15%. Menurut Henry, disparitas ini muncul karena lonjakan IHSG banyak ditopang oleh saham-saham yang tidak termasuk dalam konstituen LQ45 atau MSCI Indonesia. Ia menegaskan, terlepas dari klasifikasi lapis satu atau dua, atau sektor A, B, C, inti dari kinerja pasar modal sejatinya kembali pada fundamental pertumbuhan laba.
Mengejutkannya, Henry mengungkapkan bahwa pada tahun ini, rata-rata pertumbuhan laba di antara emiten pasar modal justru tercatat minus 5%. Angka ini mengindikasikan bahwa, dari sisi profitabilitas bersih atau bottom line, lonjakan IHSG saat ini sesungguhnya ditopang oleh fondasi pertumbuhan yang rapuh.
Kendati demikian, prospek untuk tahun depan terlihat lebih cerah. Henry memperkirakan rata-rata pertumbuhan laba dapat bangkit kembali sebesar 5% hingga 10%. Optimisme ini didasari oleh ekspektasi peningkatan belanja pemerintah, terutama dengan kemampuan eksekusi belanja yang lebih baik. Sektor-sektor yang diperkirakan akan menjadi motor penggerak rebound ini meliputi perbankan, konsumer, dan telekomunikasi.
Sementara itu, melonjaknya harga saham-saham konglomerat belakangan ini, menurut Henry, didorong oleh masuknya saham-saham tersebut ke dalam indeks-indeks internasional prestisius seperti MSCI dan FTSE. Kedua indeks ini menjadi acuan penting bagi investor asing. Henry menjelaskan, “Jika ada saham dari negara emerging market seperti Indonesia yang masuk ke indeks tersebut, itu akan segera masuk ke radar investor global. Terjadi passive flow yang signifikan masuk ke saham tersebut ketika telah menjadi bagian dari indeks.”
Senada, CEO & Senior Country Officer JP Morgan Indonesia, Gioshia Ralie, menambahkan bahwa hingga kuartal II/2025, hanya sektor real estate dan healthcare yang menunjukkan pendapatan positif di Bursa. Sektor-sektor lainnya, kata Gioshia, justru mencatat pertumbuhan negatif. “Inilah yang membuat indeks kita tidak berkinerja optimal. Namun, kondisi ini sudah masuk dalam ekspektasi, mengingat volatilitas di pasar cukup besar, yang berhubungan dengan fluktuasi rupiah, suku bunga yang tak kunjung turun, serta daya beli masyarakat yang terdampak. Semua ini tercermin pada profitabilitas perusahaan-perusahaan di Bursa yang tertekan,” jelas Gioshia.
Lebih lanjut, Gioshia menggarisbawahi bahwa minat atau appetite investor asing terhadap Indonesia masih terbilang baik, meskipun sempat terjadi demonstrasi pada akhir Agustus lalu. Ia menuturkan, apabila pemerintah merespons tuntutan demonstran dengan baik dan konstruktif, hal tersebut akan menjadi sentimen positif yang kuat bagi iklim investasi di Indonesia.
—
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
IHSG mencetak rekor tertinggi, namun didorong oleh saham lapis kedua dan konglomerat, bukan saham fundamental. JP Morgan memproyeksikan saham lapis utama baru akan rebound pada 2026, dengan pertumbuhan laba rata-rata emiten masih minus 5% tahun ini. Lonjakan saham konglomerat didorong oleh masuknya ke indeks internasional seperti MSCI dan FTSE.
JP Morgan memperkirakan pertumbuhan laba akan membaik 5-10% tahun depan, didukung belanja pemerintah. Sektor perbankan, konsumer, dan telekomunikasi diprediksi menjadi penggerak. Sektor real estate dan healthcare mencatat pendapatan positif di kuartal II/2025, sementara sektor lain negatif. Minat investor asing terhadap Indonesia masih baik, dan respons positif pemerintah terhadap demonstrasi akan menjadi sentimen positif.