Scoot.co.id – JAKARTA. Tahun 2025 menjadi saksi bagi sejumlah mata uang utama dunia yang terus memperlihatkan penguatan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dominasi ini tercatat sepanjang tahun berjalan (YTD), menandai pergeseran fundamental dalam lanskap pasar valuta asing global.
Pergerakan ini selaras dengan tren pelemahan indeks dolar AS (DXY) yang semakin terimpit oleh ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed). Dinamika ini telah menciptakan gelombang optimisme di pasar, mendorong investor untuk beralih ke aset berisiko dan meninggalkan dolar AS sebagai lindung nilai.
Mengutip data dari Trading Economics, pada Senin (25/8) pukul 15.23 WIB, posisi DXY berada di level 97,87, mencerminkan pelemahan akumulatif sebesar 2,92% dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Angka ini menegaskan tekanan yang dialami dolar AS di tengah antisipasi kebijakan moneter The Fed.
Ditutup Rp 16.259, Rupiah Memimpin Penguatan Mata Uang Asia Terhadap Dolar AS
Euro Jadi yang Terkuat
Secara YTD, Euro (EUR) menduduki posisi teratas sebagai mata uang dengan penguatan tertinggi. Mata uang tunggal Eropa ini melonjak 13,00%, mencapai level US$ 1,17 per euro. Kinerja impresif ini menunjukkan sentimen positif yang kuat terhadap perekonomian kawasan euro.
Menyusul Euro, Pound Sterling (GBP) juga menunjukkan kinerja yang kokoh, menguat 7,90% ke level US$ 1,35 per pound sterling. Sementara itu, dolar Australia (AUD) mengalami kenaikan 4,95% ke posisi US$ 0,64 per AUD, yen Jepang (JPY) menguat 6,39% ke level 147,29 per dolar AS, dan franc Swiss (CHF) melonjak tajam 11,60% ke level 0,80 per dolar AS. Penguatan ini secara kolektif menggambarkan kecenderungan pelemahan dolar AS di berbagai lini.
Dolar AS Masih Tertekan, Pasar Menanti Keputusan Pemangkasan Suku Bunga The Fed
The Fed Makin Dekat Memangkas Suku Bunga
Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menjelaskan bahwa peluang pemangkasan suku bunga The Fed semakin terbuka lebar. Sinyal dari Ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengindikasikan kebijakan moneter yang lebih longgar ke depan, menjadi pemicu utama. Hal ini didukung oleh perlambatan yang terlihat di sektor tenaga kerja AS.
“Meskipun angka inflasi masih berada pada level moderat, sifatnya cenderung sementara karena adanya pengaruh dari tarif impor,” ujar Nanang kepada Kontan.co.id pada Senin (25/8). Pandangannya ini menggarisbawahi keyakinan pasar terhadap jalur kebijakan The Fed.
Nanang memproyeksikan Euro berpotensi terus menguat, menargetkan US$ 1,18 per euro pada kuartal III. Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan Euro menembus US$ 1,19–US$ 1,20 per euro apabila The Fed benar-benar merealisasikan pemangkasan suku bunga sesuai ekspektasi.
Ringgit Malaysia dan Bursa Taiwan Pimpin Reli Pasar Asia Usai Sinyal Dovish Powell
Pound Sterling Lebih Tertahan
Berbeda dengan dinamika di Eropa, Nanang menilai Pound Sterling cenderung lebih tertahan. Inggris, menurutnya, masih bersikap hati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter. Ini disebabkan oleh tingkat inflasi Inggris yang masih tinggi, tercatat 3,8% pada Juli 2025, meningkat dari 3,6% pada bulan sebelumnya, dan merupakan level tertinggi sejak Januari 2024.
Meskipun Bank of England (BoE) telah memangkas suku bunga acuannya ke 4,00% pada Agustus, langkah tersebut masih dianggap lambat. Dengan kondisi makroekonomi ini, Pound Sterling diperkirakan dapat menguat menuju US$ 1,37–US$ 1,38 per pound sterling di kuartal III, dengan potensi menembus US$ 1,39–US$ 1,40 pada kuartal IV hingga awal 2026.
Faktor Eksternal Mempengaruhi Pergerakan Rupiah Hari Ini, Senin (25/8)
Swiss Franc Jadi Primadona Safe Haven
Untuk franc Swiss (CHF), Nanang melihat peluang penguatan terhadap dolar AS masih terbuka lebar, terutama bila ketegangan geopolitik global mengalami peningkatan. Franc Swiss secara historis memang dikenal sebagai aset safe haven, yang menjadi pilihan investor di tengah ketidakpastian.
“CHF kembali menjadi safe haven bila risiko geopolitik global meningkat. Untuk sisa tahun ini, CHF diperkirakan bergerak di kisaran 0,7800–0,7900 per dolar AS,” ungkapnya. Terlebih, Swiss National Bank (SNB) sudah lebih dulu memangkas suku bunga ke bawah 1%, memberikan ruang yang lebih besar bagi franc untuk menguat lebih dalam.
Dolar Australia Ditopang Harga Komoditas
Sementara itu, pergerakan dolar Australia (AUD) cenderung terbatas pada rentang US$ 0,6300–US$ 0,6600 per AUD. Namun, terdapat faktor-faktor pendukung yang kuat untuk AUD, yakni dukungan dari kenaikan harga komoditas serta stabilisasi ekonomi China, mitra dagang utama Australia.
“Jika harga komoditas tetap menguat dan ekonomi China stabil, AUD berpotensi naik menuju US$ 0,6800–US$ 0,6900 per dolar AS,” jelas Nanang, menunjukkan optimisme terhadap prospek AUD jangka menengah.
Para Pialang Kakap Wall Street Ini Prediksi The Fed Pangkas Bunga 25 Bps Bulan Depan
Yen Jepang Lambat, tapi Jadi Lindung Nilai Portofolio
Di sisi lain, Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, memberikan pandangannya tentang yen Jepang (JPY). Menurutnya, JPY memiliki prospek penguatan bertahap terhadap dolar AS. “Jika inflasi AS turun sesuai ekspektasi dan The Fed memotong suku bunga lebih awal, USD/JPY berpotensi merayap ke bawah. Namun, tanpa katalis hawkish dari Bank of Japan (BoJ), apresiasi yen kemungkinan akan terjadi secara bertahap,” ujar Josua.
Ia menambahkan bahwa yen Jepang tetap relevan sebagai instrumen lindung nilai (hedge) dalam portofolio investasi global. Hal ini didasarkan pada historisnya yang memiliki korelasi negatif dengan pasar saham saat kondisi risk-off, menjadikannya pilihan aman di kala gejolak pasar.
Josua memproyeksikan, hingga akhir 2025, pergerakan USD/JPY akan berada di kisaran 142–148 per dolar AS. Proyeksi ini memiliki bias penguatan tipis bagi yen, terutama jika data ekonomi AS secara konsisten menunjukkan pelemahan.
Ringkasan
Pada tahun 2025, mata uang utama dunia menunjukkan penguatan terhadap dolar AS, seiring dengan melemahnya indeks dolar (DXY) akibat ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Euro menjadi mata uang dengan penguatan tertinggi, diikuti oleh Pound Sterling, dolar Australia, yen Jepang, dan franc Swiss. Pasar menanti keputusan The Fed terkait pemangkasan suku bunga, yang diperkirakan akan semakin memperkuat Euro.
Pound Sterling cenderung tertahan karena inflasi Inggris yang masih tinggi. Franc Swiss menjadi pilihan safe haven di tengah ketegangan geopolitik. Dolar Australia didukung oleh kenaikan harga komoditas dan stabilisasi ekonomi China. Yen Jepang diproyeksikan menguat bertahap dan tetap relevan sebagai instrumen lindung nilai portofolio.