JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan hebat pada perdagangan Senin (27/10/2025). Pada sesi II, sekitar pukul 13.30 WIB, IHSG terperosok signifikan hingga 3,38%, membawa indeks acuan bursa saham Indonesia ini melorot ke level 7.992. Penurunan tajam ini sontak menarik perhatian para investor dan pelaku pasar modal.
Menurut analisis Steven Willie, Analis NH Korindo Sekuritas, ambruknya IHSG ini disebabkan oleh kuatnya sentimen negatif di kalangan investor. Sentimen tersebut berpusat pada wacana Morgan Stanley Capital Index (MSCI) yang berencana mengadopsi data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai referensi tambahan dalam perhitungan free float saham. Langkah ini, jika benar diterapkan, diperkirakan akan menurunkan porsi free float—yakni jumlah saham yang bebas diperdagangkan di pasar—terutama bagi emiten dengan struktur kepemilikan yang sangat terkonsentrasi.
Steven Willie mengamati bahwa wacana ini paling telak menghantam saham-saham konglomerat. Terutama emiten-emiten besar yang selama ini digadang-gadang berpotensi mengisi jajaran indeks unggulan, merasakan dampak tekanan jual yang signifikan. Akibatnya, banyak investor memilih untuk “mengamankan posisi” mereka terlebih dahulu, cenderung menjual saham yang berisiko tinggi untuk sementara waktu, menciptakan gelombang koreksi di pasar saham.
Namun, di tengah gejolak ini, Steven memberikan pandangan yang lebih optimistis. Ia memperkirakan bahwa tekanan jual yang menimpa IHSG ini kemungkinan tidak akan berlangsung terlalu lama. Seiring meredanya fase koreksi, investor diperkirakan akan kembali memasuki pasar modal. Mereka yang sebelumnya “mengamankan posisi” untuk tujuan speculative buy, diyakini akan segera beralih kembali untuk mengakumulasi saham-saham emiten dengan fundamental yang baik, mencari peluang jangka panjang.
Optimisme Steven tidak hanya bersandar pada dinamika internal pasar, tetapi juga didukung oleh beberapa katalis positif dari lanskap ekonomi global yang berpotensi menopang IHSG dalam waktu dekat. Salah satu faktor penting adalah potensi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang dapat meningkatkan likuiditas dan gairah investasi secara global. Selain itu, perkembangan positif terlihat dari tercapainya kerangka kesepakatan dagang antara AS dan China. Langkah ini diharapkan mampu meredakan tensi perang dagang global yang sempat memanas, menciptakan stabilitas yang lebih baik bagi pasar finansial dunia.
Menghadapi fluktuasi pasar saham yang didorong oleh sentimen jangka pendek ini, Steven Willie menekankan pentingnya strategi investasi yang cermat. Ia menyarankan para investor untuk tidak panik dan justru memanfaatkan momentum koreksi. Rekomendasinya adalah untuk mengakumulasi dan tetap fokus pada saham-saham emiten yang memiliki fundamental tangguh, yang diyakini lebih resisten terhadap gejolak pasar dan menawarkan prospek pertumbuhan jangka panjang.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, perlu diketahui bahwa MSCI saat ini sedang aktif meminta masukan dari para pelaku pasar modal mengenai rencana krusial ini. Wacana utamanya adalah penggunaan Monthly Holding Composition Report dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sebagai referensi tambahan yang lebih komprehensif dalam menghitung free float saham emiten di Indonesia. Selama ini, emiten di Tanah Air hanya diwajibkan melaporkan pemegang saham dengan kepemilikan 5% atau lebih kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Berbeda dengan itu, data KSEI mampu menyajikan rincian kepemilikan di bawah 5% dan menyediakan klasifikasi pemegang saham yang jauh lebih mendalam, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai struktur kepemilikan.
Berdasarkan laporan dari Stockbit Sekuritas, MSCI mengusulkan agar estimasi free float ditentukan berdasarkan nilai terendah dari dua skenario perhitungan. Pertama, free float yang dihitung menggunakan data kepemilikan yang selama ini dilaporkan oleh emiten dalam berbagai keterbukaan informasi, laporan, dan siaran pers, sesuai dengan metodologi MSCI. Kedua, free float yang diestimasikan berdasarkan data KSEI, dengan mengklasifikasikan saham script (yang tidak tercatat dalam data KSEI) serta kepemilikan ‘korporasi’ (baik lokal maupun asing) dan ‘others’ (lokal maupun asing) sebagai non–free float. Sebagai alternatif, MSCI juga mengajukan estimasi free float berdasarkan data KSEI dengan mengklasifikasikan saham script dan kepemilikan ‘korporasi’ (tanpa menghitung ‘others’) sebagai non–free float.
Penting untuk dicatat bahwa wacana perubahan metodologi perhitungan free float ini belum final dan masih dalam tahap konsultasi. MSCI terus menanti masukan dari seluruh pelaku pasar modal hingga batas waktu 31 Desember 2025. Hasil dari konsultasi publik ini dijadwalkan akan diumumkan sebelum 30 Januari 2026. Apabila proposal tersebut disetujui dan diterapkan, perubahan pada indeks akan diimplementasikan secara bertahap pada jadwal review indeks MSCI yang akan datang, yaitu pada bulan Mei 2026. Dinamika ini akan terus menjadi perhatian utama investor mengingat dampaknya yang signifikan terhadap komposisi IHSG dan valuasi saham di Indonesia.
Ringkasan
IHSG mengalami penurunan signifikan sebesar 3,38% pada sesi II perdagangan hari Senin, tertekan oleh sentimen negatif terkait wacana MSCI yang mempertimbangkan data KSEI dalam perhitungan free float saham. Analis NH Korindo Sekuritas, Steven Willie, menjelaskan bahwa wacana ini, terutama jika diterapkan, berpotensi menurunkan porsi free float saham, khususnya pada emiten dengan kepemilikan terkonsentrasi, sehingga memicu aksi jual oleh investor.
Steven Willie meyakini bahwa tekanan jual ini tidak akan berlangsung lama dan investor akan kembali mengakumulasi saham dengan fundamental baik. Selain itu, optimisme didukung oleh potensi pemangkasan suku bunga The Fed dan perkembangan positif dalam kesepakatan dagang AS-China. Ia menyarankan investor untuk memanfaatkan momentum koreksi dan fokus pada saham emiten dengan fundamental tangguh, sambil menunggu finalisasi keputusan MSCI terkait metodologi perhitungan free float yang baru.