KONTAN.CO.ID JAKARTA. PT Indofarma Tbk (INAF) tengah berjuang bangkit melalui proses restrukturisasi keuangan dan bisnis yang krusial. Langkah strategis ini ditempuh setelah perusahaan berhasil mendapatkan homologasi dari pengadilan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada tanggal 15 Agustus 2024.
Direktur Utama Indofarma, Sahat Sihombing, menjelaskan bahwa upaya restrukturisasi Indofarma difokuskan pada dua pilar utama. Pertama, penyelesaian seluruh kewajiban pasca-PKPU yang bertujuan untuk menyehatkan kembali arus kas dan neraca keuangan perusahaan. Kedua, reorientasi bisnis demi mencapai efisiensi yang lebih tinggi dan memperkuat daya saing di tengah ketatnya industri farmasi nasional.
“Pelaksanaan kewajiban hukum pasca-homologasi memang bukan perkara mudah, namun Indofarma berkomitmen penuh untuk menjalaninya,” tegas Sahat dalam keterangan resminya, Kamis (18/9/2025). Komitmen ini menjadi fondasi bagi perseroan untuk menatap masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Sebagai bagian integral dari strategi restrukturisasi ini, Indofarma menerima dukungan finansial signifikan berupa fasilitas pinjaman sebesar Rp220,17 miliar dari pemegang saham mayoritasnya, PT Bio Farma (Persero). Suntikan dana ini krusial untuk menopang likuiditas operasional sekaligus memperkuat struktur keuangan Indofarma. Manajemen menilai bahwa dukungan kuat dari Bio Farma ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan investor, mitra bisnis, serta seluruh karyawan.
Dengan fokus pada efisiensi biaya dan peningkatan produktivitas, manajemen Indofarma menyatakan optimisme mereka. “Kami optimistis dapat memperbaiki kinerja keuangan sekaligus menjaga keberlangsungan usaha,” tambah Sahat, menunjukkan harapan besar terhadap hasil dari berbagai inisiatif yang sedang berjalan.
Meskipun demikian, perjalanan Indofarma masih panjang, tercermin dari kinerja yang masih tertekan. Pada semester I 2025, perusahaan membukukan rugi bersih sebesar Rp43,55 miliar. Angka ini memang menunjukkan perbaikan signifikan, karena berhasil mengikis 57,27% kerugian dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp101,93 miliar. Namun, sisi penjualan masih menjadi tantangan, dengan penurunan 38,90% secara tahunan, dari Rp109,71 miliar menjadi Rp67,02 miliar.
Menanggapi situasi ini, Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, memberikan pandangan realistis. Menurutnya, restrukturisasi Indofarma bukanlah solusi instan yang serta-merta akan mengubah profitabilitas perusahaan. Wafi menilai, aksi korporasi ini lebih berfungsi sebagai “buying time” atau memberi waktu bernapas agar operasional tetap berjalan dan tidak terhenti.
“Prospek restrukturisasi ini memang dapat membuka jalan menuju efisiensi, pengurangan beban, dan reposisi model bisnis Indofarma. Namun, hasil nyata memerlukan waktu dan sangat bergantung pada strategi perusahaan ke depan,” jelas Wafi kepada Kontan, Jumat (19/9/2025). Ia menekankan bahwa INAF harus fokus pada bisnis intinya, baik itu obat generik, distribusi farmasi, atau memanfaatkan sinergi dengan Bio Farma Group. “Jika hanya sekadar bertahan tanpa strategi diversifikasi yang kuat, risiko merugi tetap tinggi,” ujarnya mengingatkan.
Mengenai peluang saham INAF untuk kembali diperdagangkan di bursa, Wafi menilai hal itu mungkin terjadi. Syaratnya adalah restrukturisasi harus berjalan sesuai rencana dan laporan keuangan perusahaan memenuhi standar keterbukaan informasi yang ditetapkan. Namun, Wafi turut mengingatkan bahwa investor tetap harus menyadari risiko tinggi mengingat kondisi fundamental perusahaan yang belum stabil sepenuhnya. Ini menggarisbawahi bahwa meskipun ada harapan, kewaspadaan tetap menjadi kunci bagi pihak-pihak yang tertarik pada Indofarma.