JAKARTA – Wacana peninjauan kembali penerapan pajak minimum global (GMT) 15% di Indonesia memicu perdebatan sengit antara dua kementerian penting: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kemenkeu dengan tegas membantah adanya peninjauan tersebut, sementara Kemenko Perekonomian justru mengindikasikan sebaliknya, memicu pertanyaan mengenai arah kebijakan fiskal negara dalam menarik investasi.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menegaskan bahwa penerapan GMT akan terus berjalan sesuai rencana. Meski demikian, ia mengakui adanya upaya untuk menyiapkan insentif pengganti yang bertujuan untuk menjaga daya tarik investasi di tengah perubahan iklim pajak global. “Masih disiapkan [insentif pengganti], tapi tentunya kita lihat nanti dampaknya terhadap investasi karena memang banyak negara menyiapkan itu,” ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Kamis (11/9/2025).
Febrio belum merinci jenis insentif tersebut, namun pemerintah terus memantau perkembangan di negara lain agar insentif yang ditawarkan Indonesia bisa tetap kompetitif. Sebagai mantan Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI, Febrio menekankan pentingnya membandingkan kebijakan dengan negara lain untuk memastikan daya saing Indonesia. “Jadi kita akan selalu membandingkan dengan negara-negara lain juga, karena kita kan pasti harus melihat ketertarikannya dibandingkan banyak negara lain,” jelasnya.
Sebagai informasi, pajak minimum global 15% merupakan bagian integral dari Pilar 2 yang diusung oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan G20. Aturan ini mewajibkan tarif pajak minimal bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan melebihi 750 juta euro, dengan tujuan utama untuk meredam persaingan penetapan tarif pajak rendah atau “race to the bottom” yang kerap dilakukan negara-negara demi menarik investasi. Hingga kini, lebih dari 49 negara, termasuk Indonesia, telah mengadopsi kerangka Pilar 2 ini dalam regulasi domestiknya.
Kontradiksi muncul dari pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah memang sedang mempertimbangkan kembali penerapan pajak minimum global atau GMT 15%, khususnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Susiwijono tidak menampik bahwa Indonesia telah resmi menerapkan aturan ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024, namun diskusi lebih lanjut dengan Kemenkeu masih terus berlangsung. Hal ini didasari oleh fakta bahwa banyak negara lain juga turut meninjau ulang kebijakan serupa.
Susiwijono menjelaskan bahwa pertimbangan ulang ini didorong oleh persaingan ketat dalam menarik investasi asing. Negara-negara pesaing Indonesia secara agresif menawarkan berbagai insentif pajak yang sangat menarik di KEK mereka, menciptakan tantangan bagi Indonesia yang juga berambisi memperkuat daya saing KEK-nya. Misalnya, KEK di Thailand menawarkan penurunan tarif pajak penghasilan badan (CIT) hingga 20%, pembebasan pajak usaha, serta insentif untuk industri 4.0 dan teknologi maju. Selain itu, ada juga pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5—10 tahun.
Tidak kalah kompetitif, KEK di Malaysia memberikan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5 tahun, insentif reinvestasi 60% hingga 10 tahun berturut-turut, serta insentif khusus untuk sektor strategis seperti manufaktur dan industri hijau. Sementara itu, KEK di Vietnam menawarkan pengurangan pajak penghasilan badan 10% untuk proyek investasi besar, preferensi tarif CIT (10%–17%) hingga 15 tahun, pembebasan pajak 50% hingga 4 tahun, diskon pajak untuk 9 tahun berikutnya, dan pembebasan bea impor dan masuk.
Lalu, KEK di Filipina menjanjikan penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun bagi perusahaan ekspor maupun domestik, ditambah pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun (untuk biaya pelatihan, riset, bahan baku). Demikian pula, KEK di India menawarkan penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun bagi perusahaan ekspor dan tarif pajak penghasilan badan khusus (diskon 5%) atau pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun; untuk perusahaan domestik, mereka mendapatkan penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun dan pengurangan pajak tambahan selama 5 tahun. Hal ini menunjukkan betapa dinamisnya tawaran insentif fiskal di pasar global.
Perbandingan lain yang mengemuka adalah luas Kawasan Ekonomi Khusus di negara-negara tersebut. Thailand memiliki KEK seluas 622.000 hektare, Malaysia 2,14 juta hektare, Vietnam 1,62 juta hektare, Filipina 70.476 hektare, dan India 39.205,73 hektare. Angka-angka ini jauh melampaui total luas KEK Indonesia yang baru mencapai 23.797,88 hektare, menyoroti potensi pengembangan yang masih sangat besar.
Melihat lanskap persaingan yang ada, Susiwijono menyimpulkan bahwa potensi pengembangan KEK di Indonesia masih sangat menjanjikan. Ini tidak hanya mencakup perluasan area, tetapi juga inovasi dalam bentuk-bentuk insentif fiskal maupun non-fiskal yang dapat terus dikembangkan guna meningkatkan daya saing dan menarik lebih banyak investasi ke depan. Diskusi antara Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian menjadi krusial untuk menemukan titik temu antara kepatuhan pajak global dan strategi menarik investasi domestik.
Ringkasan
Artikel ini membahas kontradiksi antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terkait penerapan pajak minimum global (GMT) 15% di Indonesia. Kemenkeu bersikeras melanjutkan penerapan GMT sesuai rencana, sembari menyiapkan insentif pengganti untuk menjaga daya tarik investasi. Sementara itu, Kemenko Perekonomian mengindikasikan adanya peninjauan kembali, terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), karena persaingan investasi dengan negara lain.
Pertimbangan peninjauan didasari oleh tawaran insentif pajak yang lebih menarik dari negara pesaing di KEK mereka, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan India. Negara-negara ini menawarkan berbagai insentif seperti penurunan tarif pajak penghasilan badan, pembebasan pajak usaha, dan pengurangan pajak investasi yang signifikan. Diskusi antara Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian menjadi penting untuk menyeimbangkan kepatuhan pajak global dengan strategi menarik investasi domestik.