Scoot.co.id JAKARTA. Emiten produsen dan pengolahan nikel di Indonesia tengah menghadapi ujian yang semakin berat. Selain bayang-bayang harga nikel global yang masih rentan tertekan, sektor ini juga dihadapkan pada persaingan sengit dari komoditas alternatif yang kini marak digunakan dalam pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik.
Fakta terbaru dari Indonesia Battery Corporation (IBC) menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik di Tanah Air mencapai 40.000 unit pada tahun 2024. Ironisnya, mayoritas atau 90% dari mobil listrik baru yang beredar tersebut justru mengandalkan baterai dengan bahan baku Lithium Ferro Phosphate (LFP), bukan nikel.
Situasi ini kontras dengan cadangan nikel Indonesia yang sangat melimpah, tercatat mencapai 5,3 juta ton bijih nikel per tahun 2023 berdasarkan data Kementerian ESDM. Ditambah lagi, Indonesia sedang agresif mengembangkan proyek-proyek smelter serta pabrik baterai kendaraan listrik yang berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC), yang notabene menggunakan nikel sebagai komponen utama.
IHSG Menguat 0,47% Pekan Ini, Bagaimana Arahnya di Pekan Depan?
Muhammad Wafi, seorang analis dari Korea Investment & Sekuritas Indonesia, menyoroti bahwa popularitas baterai LFP yang kian meningkat menjadi hambatan serius bagi industri nikel nasional. Hal ini disebabkan oleh tertahannya permintaan produk olahan nikel dari berbagai smelter di dalam negeri.
Kondisi demikian berpotensi menggerus daya saing emiten-emiten nikel terkemuka seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), dan PT PAM Mineral Tbk (NICL). Mereka dihadapkan pada risiko serius berupa keterbatasan penyerapan produk olahan nikel di pasar.
“Terlebih lagi, harga nikel global masih menunjukkan kerentanan untuk terus tertekan, menciptakan tekanan ganda yang signifikan bagi keseluruhan sektor ini,” imbuh Wafi, pada Kamis (4/9).
Senada, Arinda Izzaty, analis dari Pilarmas Investindo Sekuritas, mengungkapkan bahwa jika tren adopsi baterai LFP terus menguat, emiten tambang maupun pengelola smelter nikel berisiko kehilangan pasar strategis yang selama ini menjadi tumpuan mereka.
Padahal, tanpa mempertimbangkan sentimen negatif LFP sekalipun, kinerja emiten nikel dalam jangka pendek sudah rentan mengalami kontraksi. Ini sejalan dengan proyeksi harga nikel global yang diperkirakan berpeluang turun sebesar 6% year on year (yoy) pada tahun ini.
Pelemahan harga nikel ini utamanya bersumber dari pasokan komoditas yang melimpah, terutama dari Indonesia dan Filipina. Sementara itu, pemulihan permintaan global belum menunjukkan tanda-tanda yang signifikan.
Namun demikian, bukan berarti peluang bagi emiten nikel sepenuhnya tertutup. Masih terdapat beberapa sentimen positif yang mampu menopang kinerja sektor ini, seperti ekspansi kapasitas smelter yang gencar dilakukan oleh NCKL atau kinerja operasional yang terbilang solid dari INCO.
IHSG Melemah 0,23% pada 4 September 2025, Saham Big Banks Bergerak Campuran
Selain itu, beberapa emiten nikel juga gencar memperkuat strategi hilirisasi dan mengantongi sertifikasi Environmental Social Governance (ESG). Langkah ini diharapkan dapat menjaga daya tarik saham mereka di mata investor institusional.
“Dengan demikian, meskipun harga komoditas berpotensi menekan margin keuntungan, emiten yang mampu beroperasi secara efisien, memiliki diversifikasi produk, serta aktif menggarap pasar hilir, masih memiliki prospek yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pemain lain di sektor serupa,” jelas Arinda, Kamis (4/9).
Wafi turut menekankan bahwa emiten nikel tidak bisa lagi menggantungkan diri sepenuhnya pada industri kendaraan listrik sebagai satu-satunya pasar utama. Sebab, perkembangan teknologi baterai kendaraan listrik yang dinamis membuka peluang besar untuk peralihan penggunaan komoditas bahan baku, sehingga diversifikasi menjadi kunci.
Oleh karena itu, emiten-emiten ini wajib berekspansi dengan memasarkan produk olahan nikel mereka ke berbagai industri lain, seperti stainless steel, alloys, hingga material energi terbaru.
“Peran pemerintah juga sangat krusial, yaitu dengan mendorong demand domestik bagi pabrik baterai dan ekosistem EV lokal, serta menyediakan insentif ekspor dan jaminan kepastian regulasi. Langkah ini esensial agar investor dan buyer global tetap memiliki kepercayaan tinggi terhadap produk nikel Indonesia,” terang Wafi.
IHSG Melemah 0,23% ke 7.867 pada Kamis (4/9/2025), SCMA, AMRT, ANTM Top Losers LQ45
Secara umum, Wafi menilai sektor nikel tetap prospektif untuk dicermati oleh investor, meskipun pemilihan saham harus dilakukan secara selektif. Saham INCO, menurutnya, menarik untuk jangka panjang berkat cadangan nikelnya yang melimpah serta proyek pembangunan smelter High Pressure Acid Lead (HPAL) yang sedang berjalan.
Sementara itu, saham NCKL dan NICL juga menunjukkan keunggulan berkat ekspansi agresif serta adanya integrasi teknologi HPAL dan Rotary Klin Electric Furnace (RKEF). Untuk target harga, Wafi mematok INCO di level Rp 4.100 per saham, NCKL di Rp 1.450 per saham, dan NICL di Rp 1.200 per saham.
Di sisi lain, Arinda merekomendasikan saham NCKL, INCO, dan MBMA sebagai pilihan menarik bagi investor di sektor nikel. Ia menetapkan target harga masing-masing pada level Rp 1.150 per saham untuk NCKL, Rp 4.350 per saham untuk INCO, dan Rp 540 per saham untuk MBMA.