Scoot.co.id – JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia segera menunjukkan gejolak setelah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan reshuffle kabinet pada Senin (8/9/2025). Salah satu keputusan krusial dalam perombakan tersebut adalah penggantian menteri keuangan, yang langsung memicu kenaikan yield surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun.
Mengutip data Bloomberg pada Selasa (9/9) pukul 12.57 WIB, yield SBN tenor 10 tahun tercatat berada di level 6,53%. Angka ini menanjak signifikan dibandingkan posisi 6,45% yang tercatat pada Selasa pekan sebelumnya, 2 September.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengonfirmasi respons negatif pasar obligasi pasca-pergantian tampuk kepemimpinan Kementerian Keuangan. Ia mencatat yield SBN 10 tahun melonjak ke 6,44% per 9 September, atau 6 basis poin (bps) lebih tinggi dari hari sebelumnya. Kenaikan yield ini menjadi perhatian khusus mengingat obligasi negara di kawasan lain relatif stabil pada periode yang sama.
“Reaksi ini mencerminkan kekhawatiran investor bahwa kredibilitas fiskal bisa sedikit tergerus karena hilangnya figur yang selama ini identik dengan disiplin anggaran,” ujar Josua kepada Kontan, Selasa (9/9/2025), mengindikasikan sentimen pasar terhadap figur Sri Mulyani yang digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa.
Meskipun demikian, Josua menilai tekanan yang terjadi saat ini masih bersifat sentimen jangka pendek dan belum mencerminkan perubahan fundamental. Ia merinci beberapa faktor utama yang akan memengaruhi pergerakan yield SBN hingga akhir 2025. Pertama, sikap menteri keuangan baru terhadap disiplin fiskal dan implementasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, khususnya terkait defisit yang diharapkan tetap terkendali di sekitar 2,5% Produk Domestik Bruto (PDB) atau berpotensi melebar. Kedua, arah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan masih akan melonggarkan suku bunga secara bertahap pada kuartal IV – 2025, bergantung pada stabilitas rupiah dan arus modal masuk. Ketiga, kondisi eksternal, seperti tren penurunan suku bunga The Fed dan pergerakan harga komoditas global yang turut memengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Terakhir, potensi capital outflow akibat sentimen politik domestik tetap menjadi risiko utama yang perlu dicermati.
“Kami memperkirakan yield SBN 10 tahun rata-rata akan bergerak di kisaran 6,3% – 6,5% pada akhir 2025, sejalan dengan asumsi defisit fiskal yang tetap terkendali dan inflasi bergerak dalam target,” pungkas Josua. Meski ada risiko pelebaran defisit pada tahun 2026 akibat percepatan belanja pemerintah, ia menilai cadangan fiskal dan buffer pembiayaan Indonesia masih cukup kuat, sehingga risiko defisit menembus 3% PDB dianggap kecil. Dengan proyeksi BI akan menurunkan suku bunga acuan ke 4,75% pada akhir tahun, tekanan pada yield SBN diperkirakan akan berkurang, meskipun ruang penurunannya terbatas akibat premi risiko domestik.
Secara relatif, Josua menambahkan bahwa SBN Indonesia masih menawarkan daya tarik yang kuat berkat real yield yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara sejenis. Sebagai perbandingan, yield SBN 10 tahun Indonesia yang berada di kisaran 6,4% jauh melampaui yield obligasi 10 tahun di Malaysia (3,4%) atau Thailand (1,2%). “Dengan inflasi yang rendah sekitar 2%, Indonesia masih memberikan imbal hasil riil yang positif,” imbuhnya.
Namun, Josua memperingatkan bahwa pasar akan cenderung lebih berhati-hati pasca-pergantian menteri keuangan, karena hal ini meningkatkan persepsi risiko politik dan kredibilitas fiskal. Apabila menteri keuangan baru mampu menunjukkan kesinambungan kebijakan dan komitmen terhadap disiplin anggaran, investor asing diyakini akan kembali masuk ke pasar SBN. “Sebaliknya, bila komunikasi kebijakan tidak konsisten, risiko outflow dapat menahan penurunan yield lebih lanjut,” terang Josua.
Senada, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengemukakan bahwa investor kini mulai menimbang kembali alokasi aset mereka setelah perombakan kabinet. Prospek jangka panjang, menurut David, sangat bergantung pada persepsi pasar terhadap disiplin fiskal pemerintah yang baru, serta kondisi global, khususnya laju pemotongan suku bunga oleh The Fed.
David juga menyebut beberapa sentimen yang akan memengaruhi yield SBN hingga akhir tahun, meliputi laju pemotongan suku bunga BI dan The Fed, kondisi fiskal pemerintah, tingkat inflasi, serta yield obligasi negara-negara emerging market lainnya. Ia menegaskan bahwa SBN Indonesia tetap menawarkan yield yang kompetitif. “Proyeksi yield SBN 10 tahun dapat turun ke level 6,32%,” tutup David.
Ringkasan
Pasar obligasi Indonesia bereaksi terhadap penggantian Menteri Keuangan, ditandai dengan kenaikan yield SBN tenor 10 tahun menjadi 6,53%. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kredibilitas fiskal pasca-pergantian figur yang dianggap identik dengan disiplin anggaran. Meskipun demikian, tekanan ini dinilai bersifat jangka pendek dan belum mencerminkan perubahan fundamental.
Pergerakan yield SBN hingga akhir 2025 akan dipengaruhi oleh sikap menteri keuangan baru terhadap disiplin fiskal, kebijakan Bank Indonesia terkait suku bunga, kondisi eksternal seperti kebijakan The Fed, dan potensi capital outflow. SBN Indonesia masih menawarkan daya tarik karena real yield yang relatif tinggi dibandingkan negara lain, namun pasar akan lebih berhati-hati dan kesinambungan kebijakan menjadi kunci bagi investor.