Diversifikasi Emiten Batubara: Peluang Cuan atau Jebakan? Analis Bicara

Scoot.co.id JAKARTA. Di tengah gejolak dan tekanan yang melanda pasar batubara global, sejumlah emiten di sektor ini semakin gencar melancarkan strategi diversifikasi bisnis. Langkah proaktif ini diambil untuk membuka gerbang peluang peningkatan kinerja yang lebih berkelanjutan di masa mendatang, beradaptasi dengan era transisi energi.

Salah satu emiten raksasa batubara, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), menunjukkan komitmennya dengan mengakuisisi 585 juta saham NICE, setara kepemilikan 9,62%. Transaksi yang dilakukan pada 4 Juli 2025 lalu ini menghabiskan dana sebesar Rp 285,48 miliar dengan harga Rp 438 per saham. Direktur Utama PT Indo Tambangraya Megah Tbk, Mulianto, menegaskan bahwa akuisisi parsial saham NICE ini merupakan bentuk partisipasi ITMG dalam tren elektrifikasi global. Melalui langkah ini, ITMG berupaya mendukung elektrifikasi dengan mengembangkan mineral kritis, khususnya nikel, yang menjadi bahan baku esensial untuk baterai kendaraan listrik.

Mulianto tidak menutup kemungkinan bagi ITMG untuk memperbesar kepemilikan sahamnya di NICE di masa depan. Ia menyatakan, “Segala kemungkinan untuk meningkatkan value dari perusahaan melalui peningkatan kepemilikan maupun partnership pasti akan kami pertimbangkan,” dalam paparan publik pada Rabu (10/9). Pernyataan ini mengindikasikan keseriusan emiten dalam berekspansi ke sektor nikel.

IHSG Berpeluang Menguat pada Senin (15/9), Cek Rekomendasi Saham Ini

Tak hanya ITMG, emiten batubara Grup Sinar Mas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), juga aktif memperkaya portofolio bisnisnya dengan fokus pada energi terbarukan. Melalui entitas anak PT Trina Mas Agra Indonesia (TMAI), DSSA telah sukses mengoperasikan pabrik sel dan panel surya berkapasitas 1 GW per tahun di Kawasan Industri Kendal, Jawa Barat, dengan nilai investasi fantastis lebih dari Rp 1,5 triliun. Selain itu, DSSA, melalui PT DSSR Daya Mas Sakti, turut berkolaborasi dengan PT FirstGen Geothermal Indonesia untuk mengembangkan proyek panas bumi berkapasitas hingga 440 MW yang tersebar di enam wilayah strategis di Indonesia.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pun tak ketinggalan dalam upaya ekspansi ke sektor non-batubara. Emiten ini bersiap mengakuisisi tambang emas dan tembaga milik Wolfram Limited dari Australia. Untuk mendanai strategi diversifikasi bisnis ambisius ini, BUMI belum lama ini menerbitkan Obligasi Berkelanjutan I BUMI Tahap II Tahun 2025 senilai Rp 721,61 miliar, di mana sebagian dananya akan dialokasikan untuk kebutuhan akuisisi tambang tersebut.

Langkah serupa diambil oleh PT Indika Energy Tbk (INDY) dengan mendirikan perusahaan baru bernama PT Trimatra Bioenergi Angkasa (TBA). TBA akan bergerak di bidang industri kimia dasar organik yang memanfaatkan hasil pertanian. Aksi korporasi ini semakin memperkuat portofolio bisnis INDY di luar batubara, setelah sebelumnya sukses menggarap proyek Tambang Emas Awak Mas, proyek energi terbarukan, hingga merambah sektor kendaraan listrik.

Upaya masif diversifikasi bisnis juga terlihat pada PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Selain melakukan pemisahan lini bisnis batubara termal ke PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), ADRO kini memusatkan perhatian pada energi terbarukan dan hilirisasi mineral, termasuk pengembangan smelter aluminium.

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) aktif menggarap berbagai proyek hilirisasi batubara. Inisiatif PTBA meliputi pengembangan kalium humate dari batubara kalori rendah, pengembangan artificial graphite untuk mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik, hingga pengembangan wood pellet dari tumbuhan kaliandra merah di lahan bekas tambang sebagai sumber biomassa alternatif yang berkelanjutan.

Alfamidi Tetap Ekspansi di Tengah Tekanan Ekonomi RI, Saham MIDI Layak Dicermati?

Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menyoroti bahwa aksi diversifikasi bisnis emiten batubara adalah suatu keniscayaan di tengah gelombang transisi energi yang merambah dunia. Ia menjelaskan, tantangan seperti pelemahan harga batubara, tekanan regulasi lingkungan, serta dorongan kuat dari investor terhadap prinsip environmental, social, and governance (ESG) membuat emiten tidak dapat lagi hanya mengandalkan bisnis batubara. Selain itu, kondisi keuangan yang masih kokoh juga memberikan ruang bagi sebagian emiten untuk berekspansi ke sektor mineral, hilirisasi, energi terbarukan, dan bidang lainnya.

“Dengan langkah ini, emiten berusaha mengurangi ketergantungan terhadap satu komoditas, sekaligus mempersiapkan modal bisnis yang relevan pada masa depan,” ujar Arinda pada Jumat (12/9). Strategi diversifikasi ini menawarkan sejumlah keuntungan signifikan, antara lain ketahanan terhadap fluktuasi harga batubara, potensi margin yang lebih tinggi dari produk turunan atau mineral baru, serta akses yang lebih mudah ke pendanaan dan investor yang berorientasi ESG.

Namun, Arinda juga mengingatkan bahwa risiko yang dihadapi emiten batubara dalam melakukan diversifikasi cukup besar. Investasi modal yang tinggi, periode pengembalian modal yang panjang, tantangan teknis dan regulasi yang kompleks, serta potensi hilangnya fokus dari bisnis inti merupakan beberapa risiko yang harus diwaspadai. Oleh karena itu, emiten yang melakukan diversifikasi wajib memiliki struktur pendanaan yang sehat, rasio utang yang terjaga, dan analisis kelayakan proyek yang komprehensif. Skala investasi untuk diversifikasi bisnis juga diharapkan dilakukan secara bertahap, misalnya dengan memperkuat kemitraan terlebih dahulu dengan pihak yang sudah berpengalaman di bidang baru.

Senada dengan Arinda, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menekankan pentingnya kemampuan emiten dalam mencari dan mengoptimalkan pendanaan sebagai faktor krusial dalam melaksanakan proyek diversifikasi bisnis. Ia menegaskan, diversifikasi bisnis merupakan proyek jangka panjang yang tetap penuh risiko bagi emiten batubara. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin aktivitas penggalangan dana di pasar modal, seperti rights issue, akan semakin banyak diramaikan oleh emiten batubara yang berambisi menggarap proyek diversifikasi.

Nafan menambahkan, dalam jangka pendek, emiten batubara kemungkinan belum akan merasakan dampak besar dari hasil diversifikasi bisnisnya. Namun, peluang pemulihan kinerja emiten batubara dalam waktu dekat tetap ada seiring peningkatan permintaan komoditas ini menjelang akhir tahun yang bertepatan dengan musim dingin. Dari sekian emiten batubara yang aktif melakukan diversifikasi, Nafan merekomendasikan status add untuk saham BUMI dan ITMG, dengan target harga masing-masing di level Rp 145 per saham dan Rp 25.800 per saham. Ia juga menyarankan akumulasi beli untuk saham ADRO dengan target harga Rp 2.550 per saham. Di sisi lain, Arinda Izzaty menyebut saham INDY menarik untuk dicermati investor dengan target harga di level Rp 2.200 per saham.

Siap-Siap, Sejak 2010 Astra Otoparts (AUTO) Rajin Bagi Dividen Interim Saban Oktober

Ringkasan

Emiten batubara gencar melakukan diversifikasi bisnis untuk beradaptasi dengan transisi energi dan mengurangi ketergantungan pada komoditas batubara. Langkah ini meliputi investasi di energi terbarukan, hilirisasi mineral, dan sektor lain seperti nikel dan biomassa, dengan tujuan meningkatkan keberlanjutan kinerja perusahaan.

Diversifikasi ini membawa peluang seperti ketahanan terhadap fluktuasi harga batubara dan akses ke pendanaan ESG, tetapi juga risiko seperti investasi modal tinggi dan tantangan teknis. Analis menekankan pentingnya pendanaan yang kuat dan analisis kelayakan proyek yang komprehensif dalam menjalankan strategi diversifikasi ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *