JAKARTA. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) baru-baru ini melaporkan kinerja keuangannya untuk periode enam bulan pertama tahun 2025. Paparan yang disampaikan pada Jumat (19/9/2025) tersebut mengungkapkan bahwa laba bersih Bank Mandiri mengalami penurunan. Tercatat, laba bersih BMRI terkontraksi 7,7% secara tahunan (YoY), menjadi Rp 24,5 triliun per Juni 2025.
Meskipun laba bersih menunjukkan penurunan, pendapatan bunga Bank Mandiri justru mengalami kenaikan signifikan. Sepanjang semester I-2025, pendapatan bunga BMRI melonjak 12,9% menjadi Rp 81,87 triliun. Namun, kenaikan pendapatan ini diimbangi oleh lonjakan beban bunga yang lebih tinggi, yakni 25,9%, mencapai Rp 29,2 triliun. Akibatnya, pertumbuhan pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) hanya tercatat 6,7%, dengan nilai Rp 52,4 triliun.
Dari sisi intermediasi, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan yang impresif dalam penyaluran kredit konsolidasi. Total kredit mencapai Rp 1.701 triliun, tumbuh 11% secara YoY. Angka pertumbuhan ini jauh melampaui rata-rata industri perbankan yang berada di level 7,03% YoY pada periode Juni 2025, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, setelah pemaparan kinerja tersebut, pergerakan saham BMRI di bursa justru menunjukkan pelemahan 0,90% dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (18/9/2025), dan ditutup pada level Rp 4.380 per saham.
Rekomendasi Analis
Menanggapi kinerja ini, Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, menilai kinerja Bank Mandiri di paruh pertama tahun ini cenderung “ketat”. Ia menyoroti bahwa meskipun NII atau pendapatan bunga bersih masih stabil, terjadi kontraksi pada laba bersih. Kondisi ini juga tercermin dari penyesuaian panduan kinerja hingga akhir tahun 2025, di mana manajemen BMRI merevisi turun target pertumbuhan kredit, marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM), dan biaya kredit (Cost of Credit).
Secara rinci, target pertumbuhan kredit dipangkas menjadi 8%-10% dari proyeksi awal 10%-12%. Sementara itu, proyeksi NIM direvisi menjadi 4,8%-5% dari sebelumnya 5%-5,2%. Adapun proyeksi biaya kredit juga diturunkan menjadi 0,8%-1% dari 1%-1,2%. Miftahul menjelaskan, “NII memang masih bertumbuh positif, namun ekspektasi margin yang lebih ketat kami kira menjadi salah satu pertimbangan manajemen untuk menurunkan target pertumbuhan kredit serta NIM mereka di tahun ini.” Ia menambahkan, penyesuaian target ini dianggap wajar mengingat kondisi likuiditas perbankan yang masih kompetitif dengan cost of fund yang tinggi akibat akuisisi dana pihak ketiga.
Senada, Kepala Riset Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menyatakan bahwa revisi target ini menjadi lebih realistis. Faktor-faktor yang memengaruhinya antara lain penurunan suku bunga acuan yang berdampak pada turunnya yield kredit, kompetisi penyaluran kredit yang makin ketat terutama di segmen korporasi dan konsumer, serta sentimen likuiditas perbankan yang melonggar namun permintaan kredit belum sepenuhnya pulih. Wafi menjelaskan, “(Revisi target) bisa jadi sentimen negatif untuk jangka pendek karena ekspektasi diturunkan. Namun, untuk jangka menengah justru bisa positif, artinya manajemen menunjukkan kehati-hatian dan menjaga kualitas aset.”
Terlepas dari adanya revisi target, Miftahul memperkirakan saham BMRI tetap menarik secara fundamental. Hal ini didukung oleh kualitas aset yang terjaga dan pertumbuhan kredit yang tetap berada di kisaran sehat. Kendati demikian, ia mengingatkan investor untuk tetap mencermati arah kebijakan suku bunga, dinamika likuiditas perbankan, serta potensi dampak dari injeksi yang baru-baru ini dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Muhammad Wafi juga menyampaikan bahwa saham BMRI saat ini menarik untuk akumulasi. Valuasi BMRI dinilai masih relatif murah dibandingkan kualitas aset dan tingkat pengembalian ekuitas (ROE) bank. Namun, investor perlu mencermati potensi koreksi lanjutan, karena sentimen revisi target pertumbuhan kredit dan NIM dapat menciptakan sedikit pesimisme di pasar. Wafi menegaskan, “Tapi secara fundamental, BMRI tetap menjadi salah satu incaran asing di sektor perbankan. Jadi untuk investor jangka menengah-panjang, koreksi justru bisa menjadi entry point.”
Ringkasan
Laba bersih Bank Mandiri (BMRI) mengalami penurunan 7,7% YoY menjadi Rp 24,5 triliun pada semester I-2025, meskipun pendapatan bunga naik 12,9%. Pertumbuhan kredit konsolidasi mencapai 11% YoY, melampaui rata-rata industri, tetapi manajemen merevisi turun target pertumbuhan kredit, NIM, dan Cost of Credit untuk sisa tahun 2025.
Analis menilai revisi target BMRI sebagai langkah realistis di tengah penurunan suku bunga, kompetisi kredit yang ketat, dan likuiditas perbankan yang melonggar. Meskipun demikian, saham BMRI tetap menarik secara fundamental karena kualitas aset yang terjaga. Investor disarankan mencermati kebijakan suku bunga dan dinamika likuiditas, serta potensi koreksi sebagai peluang masuk bagi investasi jangka menengah-panjang.