JAKARTA – Bank Indonesia (BI) kembali menghadapi sorotan terkait independensinya setelah memutuskan untuk mengaktifkan kembali skema burden sharing atau berbagi beban. Kebijakan ini diambil demi menopang program ambisius Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Sejatinya, konsep burden sharing bukanlah hal baru bagi Indonesia, karena pernah diterapkan saat perekonomian nasional terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19.
Namun, kondisi saat ini menunjukkan perbedaan signifikan dibanding era pandemi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengindikasikan bahwa perekonomian relatif stabil, dengan pertumbuhan pada kuartal II/2025 yang menembus angka 5,12%. Aktivitas perekonomian secara umum juga jauh lebih baik. Konsumsi masyarakat, merujuk data BPS, tetap cukup positif, sementara sektor manufaktur pada Agustus 2025 kembali ke level ekspansif di atas 50%, dengan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di kisaran 18%-19%.
Meskipun demikian, gambaran ekonomi yang dipaparkan BPS tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan kinerja keuangan negara, terutama dari sisi penerimaan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan bahwa penerimaan pajak pada tahun ini hanya akan mencapai 94,9% dari target senilai Rp2.189,3 triliun. Konsekuensinya, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan melebar hingga 2,78%.
Potensi pelebaran defisit ini bahkan diperkuat oleh publikasi dari lembaga pemeringkat S&P, yang memprediksi angkanya dapat mendekati 3% dari PDB. Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan sejumlah program yang terbilang ambisius, antara lain program perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih. Kondisi fiskal yang menantang inilah yang kemudian mendorong pemerintah dan BI untuk kembali menerapkan skema burden sharing.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo, pada Selasa kemarin, menyatakan, “Kami sepakat untuk berbagi beban, burden sharing. Untuk bunganya ya separuh-separuh, kami sepakatlah seperti itu.” Pernyataan ini menegaskan komitmen kedua institusi dalam mengatasi tantangan fiskal.
Perry lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan burden sharing ini bertujuan untuk membantu likuiditas pemerintah. Otoritas moneter telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder hingga Rp200 triliun. Sebagian dari pembelian SBN ini dialokasikan untuk membiayai program-program Asta Cita yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Adapun, dasar hukum operasional BI di pasar sekunder telah diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Beleid tersebut memungkinkan BI untuk melakukan pembelian dan penjualan SBN guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Bahkan, dalam situasi krisis, BI diberi kewenangan untuk membeli surat utang di pasar perdana, sebagaimana diatur dalam Pasal 36A.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga menegaskan bahwa pembelian SBN ini merupakan wujud sinergi erat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan bank sentral, jelasnya, salah satunya difokuskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dukungan terhadap pemerintah tidak hanya diwujudkan melalui penurunan suku bunga, yang telah dipangkas sebanyak lima kali sejak September 2024, tetapi juga melalui pembelian surat utang pemerintah. Sebagian besar dana yang dihimpun dari pembelian SBN, terang Perry, dialokasikan untuk pendanaan program-program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita, seperti program perumahan rakyat hingga Koperasi Desa Merah Putih. “Kami update dan [sampai] kemarin kami telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, data terbaru kemarin termasuk untuk debt switching,” ujar Perry.
Meskipun pembelian SBN oleh BI hingga mencapai Rp200 triliun di awal September ini diakui memberi ruang likuiditas bagi pemerintah untuk membiayai program-program besar, langkah ini juga menyimpan sejumlah risiko. Hal ini disampaikan oleh M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Ada tiga risiko utama dari kebijakan burden sharing ini. Pertama, pasar dapat menafsirkan intervensi BI ini sebagai bentuk fiscal dominance, yakni kebijakan moneter yang terlalu tersubordinasi pada kepentingan fiskal. “Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang,” jelas Rizal kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).
Kedua, pembelian SBN secara masif oleh BI memang berhasil menjaga yield (imbal hasil) obligasi tetap terkendali. Namun, langkah ini juga berisiko mengurangi kedalaman pasar karena sebagian besar SBN terserap oleh bank sentral, bukan oleh investor swasta atau asing. Akibatnya, sambung Rizal, penentuan harga pasar (price discovery) menjadi kurang optimal, yang pada gilirannya dapat meningkatkan volatilitas saat terjadi guncangan eksternal. Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar yang lebih besar karena kekhawatiran investor global akan likuiditas pasar yang berkurang.
Ketiga, injeksi likuiditas dalam jumlah besar melalui pembelian SBN berpotensi memperlonggar kondisi moneter, terutama jika tidak diimbangi dengan kebijakan sterilisasi yang memadai. Rizal menilai bahwa jika fiskal terus ekspansif dan moneter terlalu akomodatif, maka tekanan inflasi maupun depresiasi rupiah dapat bergerak lebih cepat. “Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain [keuntungan jangka pendek] berupa ruang fiskal, tapi membawa long-term risk [risiko jangka panjang] pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar, dan stabilitas harga,” simpulnya, menyoroti keseimbangan yang rapuh antara keuntungan segera dan potensi bahaya di masa depan.